Sabtu, 21 Oktober 2017

Cerpen Tabloid Nova


Tabloid Nova Edisi 18-24 September 2017

Persyaratan kirim cerpen  ke tabloid Nova
1. Tema: Kehidupan wanita dewasa. Nova lebih suka karakter wanita yang tangguh, berjuang, perhatian terhadap sosial dan lingkungan.
2. Jumlah kata, 10.000 cws (sekitar 8 halaman A4)
3. TNR (Times New Roman) ukuran  12
4. Tulis biodata lengkap di bawah naskah ( Nama, alamat, telepon, email, dan no rekening). Bila bukan rekening pribadi, beri keterangan.
5. Jika sudah lengkap semua, kirim ke email: nova@gramedia-majalah.com
6. Tidak ada konfirmasi pemuatan. 
Honor akan otomatis dikirim sekitar 2 minggu setelah pemuatan. 
Cerpen dibawah ini dimuat sebulan setelah saya kirim :)
Alhamdulillah.
Selamat Membaca :)




 Pallubasa
Oleh Fitri Kurnia Sari

Nareya berjalan dengan sedikit tergesa-gesa. Seorang perempuan pelayan sebuah coffe shop di bandara Sultan Hasanudin menawari Nareya yang sedang berjalan menuju pintu keluar  untuk singgah dengan sapaannya yang ramah. Wajah ayu pelayan itu tersenyum semringah sembari membungkukkan badan.
Nareya mengangguk dan tersenyum sambil mengangkat telapak  tangan kanannya. Menandakan ia meminta maaf karena tidak ada niat untuk mampir. Perempuan itu membalas senyuman Nareya. Tas payless putih di bahu kiri, sedang tangan kanan menenteng  sebuah hand bag sedang, membuat Nareya ringan melangkah. Ia tidak perlu menunggu bagasi di terminal kedatangan.
Perempuan dengan rambut lurus sebahu itu melihat sekilas angka di jam tangannya. Penerbangan ke kota Angin Mamiri hari ini benar-benar tepat waktu. Sejak turun dari pesawat, Nareya  menghirup dalam aroma kenangan yang baginya terasa sangat wangi. Aroma yang selama setahun setelah kepulangannya dari Makassar hanya ia rasakan dalam mimpi. Ia memang sudah tidak sabar untuk sampai di kota ini. Setiap langkah kakinya bagaikan detakan jam yang akan segera mengantarkannya ke tempat itu. Terlebih lagi, Ibunya yang selalu mendesaknya untuk segera menikah.
“Datanglah ke sini, tahun depan saat purnama di bulan terakhir! Aku akan mentraktirmu pallubasa lagi.” Seorang lelaki tersenyum sembari melambaikan tangan setelah mengantar Nareya  pulang ke sebuah hotel tempatnya menginap di depan Pantai Losari, pantai yang cukup terkenal di kota ini.  Setahun yang lalu Nareya  masih ingat betul saat terakhir lelaki itu memakai kaos kerah Lacoste Dongker dengan jeans biru.
Saat itu pula mata Nareya tak berkedip menunggu bayangannya  hilang. Perasaannya tiba-tiba terasa sangat senyap. Ia tidak rela jika harus berpisah. Lelaki itu benar-benar mulai mengisi hatinya selama satu minggu ketika dirinya  melakukan perjalanan dinas di kota ini. Hilir mudik mobil yang lewat dan hiruk pikuk manusia di anjungan Pantai Losari sama sekali tak terdengar berisik di telinganya. Ia rela pergi ke kota ini karena lelaki itu sudah sebulan tidak bisa dihubungi. Nareya penasaran.
***
Nareya memesan taksi. Seorang bapak tua dengan logat Makassar yang kental membukakan pintu mobil. Nareya tersenyum.
“Aryaduta, Pantai Losari, Pak!” Nareya memberi tahu nama sebuah hotel tujuannya.
Bola mata Nareya seolah tak berkedip menatap wajah Kota Angin Mamiri meter demi meter seiring roda taksi berjalan. Sepanjang jalan direkamnya baik-baik dalam memorinya. Jalan tol yang panjang dan berliku, gedung-gedung bertingkat yang  jumlahnya bertambah, hilir mudik kendaraan, dan raut-raut wajah orang-orang Makassar benar-benar mengobati sedikit demi sedikit rindu yang disimpannya selama ini. Suhu yang sangat panas sudah menjadi bagian  khas kota ini.
“Pak, lewat Jalan Serigala ya. Mampir sebentar di warung Pallubasa Pak Haji!”
“Baik, Bu. Kita bukan orang sinikah? Suka pallubasa?” Sopir taxi heran menatap Nareya dari kaca spion.
“Pernah singgah di sini mi, Pak. Ya, dari Jawa, tapi saya suka sekali pallubasa. Rempah-rempahnya mantap ki!” jawab Nareya dengan sedikit logat setempat.
Pak Sopir tertawa kecil. Nareya melanjutkan kembali  melihat-lihat wajah kota ini dari balik jendela mobil. Sudah hampir 30 km perjalanan dari bandara Hasanuddin.
Nareya  memandangi warung Pak Haji. Masih sama seperti setahun yang lalu. Menjelang makan siang begini, pengunjung harus rela berdesakan dengan pengunjung lainnya. Sebenarnya Nareya biasa makan pallubasa dengan lelaki itu malam hari. Namun, ia sudah tidak sabar menunggu malam. Biarlah nanti malam, Nareya akan singgah lagi tepat di malam purnama! Ia ingin memanggil kenangan lebih awal dalam semangkuk pallubasa siang itu.
“Silakan,” seorang pramusaji sudah menyuguhkan semangkuk pallubasa di meja Nareya. Sudah lima belas menit ia menunggu. Pallubasa memang makanan tradisional Makassar. Terdiri dari daging dan jeroan sapi atau kerbau dengan kuah beraroma cengkih, serai, pala, kapulaga, kayu manis. Rasa rempahnya gurih. Taburan kelapa parut goreng membuat kuahnya makin terasa renyah. Nareya menghirup perlahan dan merasakan asap yang mengepul dari mangkuk pallubasa. Seiring itu pula semua kenangannya serasa hadir di tempat itu.
“Enak kan rasanya? Ini pallubasa yang terkenal di kota ini. Kalau singgah ke kota ini dan tidak makan pallubasa kamu akan rugi,” Lelaki itu berkata setahun yang lalu dengan berapi-api seakan ia yang memasak masakan khas Angin Mamiri itu.
Ragu-ragu, Nareya menyesap seujung sendok. Gurih memang. Pertama, kedua, dan... ia mulai suka. Tapi ia lebih suka memilih daging dan sedikit jeroan. Lelaki itupun bercerita banyak hal.
***
Nareya menuju resepsionis hotel untuk chek in. Dipilihnya kamar di lantai 8 arah selatan yang persis menghadap Pantai Losari. Setelah menaiki lift, akhirnya sampai juga ia di kamarnya. Dibukanya gorden jendela besar. Pantai Losari terlihat jelas. Anjungannya terdapat tulisan besar berbunyi  City of  Makassar dan Pantai Losari.  Deretan pohon pinang berbaris rapi  sepanjang tepian anjungan. Beberapa tanaman hijau dalam kotak-kotak bersemen tertata rapi. Memberikan oksigen bagi siapapun yang sedang menikmati hamparan pantai. Ombak yang tenang dan beberapa kapal kecil adalah  sebuah harmoni alami.
Pertama kali ia bertemu dengan lelaki itu adalah di Pantai Losari. Pada malam yang dingin disertai angin laut waktu itu membuat Nareya tak lepas dari jaket cokelatnya. Waktu itu, ia sedang menikmati secangkir sarabba, minuman hangat khas Makassar dengan rasa jahe, gula merah, merica, pala dan santan. Bagi Nareya sarabba sekilas mirip bajigur, hanya rasa rempah-rempahnya yang lebih komplit yang membedakan sensasi rasanya. Sama-sama mereka sedang menikmati malam di Pantai Losari.
“Baru pertama kali ke sini?” Seorang lelaki menghampiri Nareya malam itu.
“Iya...  Kamu?”
Lelaki itu bernama Bram. Senyum tipisnya selalu menghiasi bibirnya yang berkumis tipis pula. Lampu-lampu di anjungan pantai  persis lilin-lilin besar yang membantu Nareya melihat lebih jelas wajah Bram yang duduk disampingnya. Kulitnya yang cukup putih dengan hidung yang mancung, rahang yang keras memberi kesan ia lelaki yang cukup macho. Bercerita banyak tentang Makassar, Bram bagai seorang guide bagi Nareya.
Hari-hari berikutnya, rutin setiap malam sebelum duduk-duduk di anjungan Pantai, Bram selalu mengajak Nareya makan malam dengan menu pallubasa di sebuah kedai makanan yang terkenal. Nareya  heran, ia bisa begitu cepat akrab dengan lelaki itu.
***
Nareya sangat senang bila ada seseorang yang memberikan sebuah perhatian lebih. Itulah mengapa dirinya begitu cepat akrab dengan Bram. Hal sekecil apapun, lelaki itu selalu mengatakannya pada Nareya.
 “Pasti setiap laki-laki yang akan menyatakan cintanya padamu harus berpikir seribu kali!” tebak Bram sambil memasukkan irisan jeroan pallubasa ke mulutnya.
Nareya  tersedak. Secepat kilat diambilnya air minum didepannya. Ia mengernyitkan dahi. Menatap Bram meminta penjelasan.
“Kau terlalu mandiri dan...”
“Apa?” Nareya makin penasaran. Tak disangka Bram akan menebak kepribadiannya.
“Kau harus mendapatkan laki-laki yang lebih tinggi darimu. Pekerjaannya, cara berpikirnya dan kedewasaannya!”
Nareya terpaku. Ditatapnya Bram tak berkedip. Baru empat hari bertemu, itupun sesudah ia selesai dengan pendidikannya di kantor diklat  Makassar. Saat makan malam saja, namun Bram mampu menyelami kepribadiannya. Begitu besarkah perhatian Bram untuknya? Seumur hidup Nareya, hanya Bram yang begitu terbuka menebak kepribadiannya.
“Tidak, Bram! Cinta tak perlu serumit itu,” balas Nareya mantap.
Sepulangnya dari Makassar, hubungan mereka terus berlanjut walaupun hanya via telepon.
***
Sebentar lagi pukul tujuh.  Nareya harus segera ke kedai pallubasa. Seperti janji Bram, purnama terakhir di bulan terakhir. Nareya menyempurnakan riasan tipis di wajahnya. Sederhana namun cukup membuat wajahnya kelihatan lebih cerah.
Sampai di depan warung pallubasa, jantung Nareya kali ini benar-benar berdegup hebat. Ia menunggu Bram. Seperti janjinya, lelaki itu akan  menunggu Nareya di bawah pohon  sebelah warung.
“Apa kabar? Maaf, Nareya aku terlambat.” Napas Bram tersengal-sengal.
“Baik, Bram!” jawab Nareya tersenyum lebar.
Bram mengenakan kaos kerah Lacoste Dongker. Persis ketika saat terakhir berpisah setahun yang lalu. Nareya tersenyum gembira. Itu artinya Bram ingin Nareya selalu mengingatnya. Mereka bergandengan tangan. Nareya memesan semangkuk pallubasa. Namun aneh,  Bram tidak memesannya malam ini. Masih kenyang, katanya. Nareya tak mempersoalkannya.
***
“Aku tak habis pikir denganmu, Bram. Sebenarnya kenapa kau memintaku untuk menemuimu saat purnama bulan terakhir? Kau dulu pergi berlalu begitu saja dan aku tak sempat bertanya padamu,” berondong Nareya.
Bram tertawa kecil. Lesung pipitnya sungguh manis malam ini.
“Bukankah kita berpisah pada saat purnama? Aku suka purnama karena itu saatnya bulan sempurna menghujani bumi ini dengan cahayanya. Aku ingin memiliki cinta sesempurna purnama.”
Nareya senang. Ia merasa cinta Bram memang tertuju padanya. Bram dua tahun lebih tua darinya. Rasanya, Nareya ingin segera mengabulkan keinginan Ibunya untuk segera menikah.
“Siapa perempuan yang beruntung mendapatkan purnama cintamu, Bram?” Selidik Nareya.
Bram menatap lekat Nareya.  Tersenyum dan dikeluarkannya sebuah cincin emas putih. Dipakaikannya cincin itu di jari manis Nareya.
“Aku sudah memenuhi janjiku, Nareya. Aku menemuimu di warung pallubasa ini saat purnama! Kau mau datang berarti ada cinta darimu untukku,”  Bram menyunggingkan senyum.
Hati Nareya berbunga-bunga. Cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Keduanya tenggelam dalam obrolan panjang dihujani cahaya purnama.
“Maaf Nareya, aku tak bisa mengantarmu ke hotel malam ini. Aku harus pulang sekarang!”
Bram melambaikan tangan. Seperti dulu. Nareya ingin memberondong dengan seribu pertanyaan tentang kelanjutan hubungan mereka nantinya. Kapan Bram akan melamarnya? Namun Bram sepertinya sangat tergesa-gesa.
“Mbak, bicara dengan siapa?” Seorang perempuan yang duduk di meja sebelah Nareya menghampirinya.
Nareya kaget dan menatap perempuan itu heran. Bicara dengan siapa?
“Ibu lihat laki-laki yang bicara dengan saya tadi, kan? Dia sudah pulang. Dia...”
Ibu itu menggeleng.
“Mbak tadi makan sendiri di sini. Saya sempat heran, Mba berbicara sendiri tapi seperti sedang  mengobrol dengan ‘seseorang’.”
Nareya kaget. Bicara sendiri?
“Namanya Bram, Bu!”
“Bram? Lelaki tampan berkumis tipis dan sering mengenakan kaos berkerah itu?” timpal seorang pramusaji yang kebetulan lewat di depan Nareya.
Nareya mengangguk.
“Dokter  muda itu  meninggal satu bulan yang lalu karena tumor otak yang dideritanya. Ia pelanggan setia pallubasa kami.”
Bulir-bulir air mata Nareya tak terbendung lagi. Aroma kenangan itu masih terasa sangat wangi.
Datanglah ke sini saat purnama di bulan terakhir! Aku akan mentraktirmu pallubasa!
***





4 komentar:

  1. ka di persyaratan di atas harus 10000 kata tapi cerpen "Pallubasa" tidak sebanyak itu? Apa cerepenny memng tdak di muat smua d blog ini?

    BalasHapus
  2. Bantu menjawab. 10000 itu mkasudnya 10000 karakter dengan spasi. Jadi bukan jumlah katanya, melainkan jumlah karater (huruf dan tanda baca). Terima kasih.

    BalasHapus
  3. Iya betul spt kata mba Renren. Cws itu character with spasi ..sekitar 8 halaman A4

    BalasHapus
  4. Keren .. ga bisa ditebak akhir ceritanya..

    BalasHapus