Sabtu, 21 Oktober 2017

Dongeng Nusantara Bertutur (NuBi)


Koran Kompas Klasika,  Minggu 24 September 2017


Syarat kirim ke Nusantara Bertutur: 
1. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia
2. Naskah harus asli merupakan karya sendiri dan belum pernah diterbitkan di media cetak apapun sebelumnya
3. Naskah dongeng maksimal 2500 karakter (no space)
font Times New Roman, 12 pt, spasi 1,5
4. Boleh mengirimkan lebih dari satu naskah
5. Melampirkan data diri lengkap penulis (Nama, Alamat, No. Telp/HP, No. Rekening)

Dikirim ke email: nusantarabertutur@gmail.com dengan hashtag #GerakanSumbangDongeng dan tema dongengnya.
Dongeng NuBi saya ini dimuat setelah satu minggu kirim naskah via email.
Selamat Membaca :)



Berbesar Hati Menerima Kekalahan
Oleh: Fitri Kurnia Sari

Edo dan Bagus adalah sahabat karib. Mereka satu kelas di sebuah sekolah dasar di Solo. Rumah mereka juga berdekatan. Namun, sejak seminggu ini, sikap Edo mendadak berubah terhadap Bagus. Sekarang, Edo selalu berangkat sekolah sendiri. Bagus merasa heran dengan perubahan sikap sahabatnya itu. Bahkan, jika Bagus mendekatinya untuk bicara, tiba-tiba Edo segera beranjak pergi.
“Kenapa sekarang Edo tidak mau bicara dan bermain denganku, ya?” tanya Bagus kepada Damar, teman sebangkunya.
“Iya, aku juga melihat kalian seperti sedang bermusuhan. Apa karena kamu terpilih menjadi ketua kelas pada pemilihan minggu lalu? Edo kan juga kandidat ketua kelas juga,” tebak Damar.
“Tapi kan kita melakukannya secara sportif. Itu pilihan teman-teman satu kelas. Bu guru Aneke sendiri yang mengawasi,” kata Bagus.
Damar mengangguk membenarkan. Ketika bel pulang sekolah, Edo buru-buru keluar kelas. Ia sengaja menghindar untuk pulang bersama Bagus. Karena tergesa-gesa, kaki Edo tersandung kaki meja. Edo kehilangan keseimbangan, dan ia terjatuh. Kepalanya terbentur ujung meja.
“Aduh!” Edo mengerang kesakitan.
Bagus, Damar, dan Bimo yang melihatnya, segera menolong Edo. Bagus memapah Edo menuju kursi. Bagus segera mengambil peralatan P3K. Luka di dahi Edo diolesi betadin.
“Aku akan mengantarmu pulang, Do,” kata Bagus.
“Terima kasih, Bagus. Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri, kok,” tolak Edo.
“Emm... sebenarnya, kenapa belakangan ini, kamu selalu menghindariku, Edo? Apa salahku? Bukankah kita berteman dan bersahabat sejak lama?” tanya Bagus.
Edo menunduk. Memainkan ujung-ujung kuku jarinya. Ia menghela napas.
“Sebenarnya, aku tidak bisa menerima kekalahanku waktu pemilihan ketua kelas. Aku iri padamu, Bagus. Sebagian besar teman-teman lebih memilihmu dibanding aku. Padahal, dari dulu aku selalu menjadi ketua kelas!” jelas Edo.
“Aku tidak bermaksud menggesermu yang biasa menjadi ketua kelas, Edo. Aku ikut menjadi kandidat ketua kelas karena pilihan teman-teman, termasuk kamu, kan Do?” kata Bagus.
Edo ingat, waktu itu memang ia yang mengusulkan nama Bagus untuk ikut juga menjadi kandidat. Saat itu, Edo sangat yakin, ia yang akan terpilih menjadi ketua kelas, bukan Bagus.
“Bukankah kita saat itu melakukan pemilihan secara terbuka dan jujur, Do? Ingat, kan, bu guru Aneke yang mengawasi. Kata bu Aneke, kita harus sportif. Yang tidak terpilih harus berbesar hati mau menerima kekalahan,” kata Damar menimpali.
“Bu Aneke juga bilang, dengan bersikap sportif sebetulnya kita sudah menjadi pemenang. Menang karena mampu menunjukkan kebesaran jiwa dan keikhlasan menerima kekalahan,” tambah Bimo.
Edo mengangguk, kemudian menghambur memeluk Bagus.
“Maafkan saya, Gus. Sekarang aku sadar bahwa sikapku menjauhimu karena kamu terpilih menjadi ketua kelas, adalah salah. Kamu tetap sahabatku, Bagus,” kata Edo.
“Aku sudah memaafkanmu, Do,” kata Bagus.
Damar dan Bimo tersenyum melihatnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar