Koran Kompas Klasika, Minggu 24 September 2017
Syarat kirim ke Nusantara Bertutur:
1. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia
2. Naskah harus asli merupakan karya sendiri dan belum pernah diterbitkan di media cetak apapun sebelumnya3. Naskah dongeng maksimal 2500 karakter (no space)
font Times New Roman, 12 pt, spasi 1,5
4. Boleh mengirimkan lebih dari satu naskah
5. Melampirkan data diri lengkap penulis (Nama, Alamat, No. Telp/HP, No. Rekening)
Dikirim ke email: nusantarabertutur@gmail.com dengan hashtag #GerakanSumbangDongeng dan tema dongengnya.
Dongeng NuBi saya ini dimuat setelah satu minggu kirim naskah via email.
Selamat Membaca :)
Berbesar
Hati Menerima Kekalahan
Oleh: Fitri Kurnia Sari
Edo
dan Bagus adalah sahabat karib. Mereka satu kelas di sebuah sekolah dasar di
Solo. Rumah mereka juga berdekatan. Namun, sejak seminggu ini, sikap Edo
mendadak berubah terhadap Bagus. Sekarang, Edo selalu berangkat sekolah
sendiri. Bagus merasa heran dengan perubahan sikap sahabatnya itu. Bahkan, jika
Bagus mendekatinya untuk bicara, tiba-tiba Edo segera beranjak pergi.
“Kenapa
sekarang Edo tidak mau bicara dan bermain denganku, ya?” tanya Bagus kepada
Damar, teman sebangkunya.
“Iya,
aku juga melihat kalian seperti sedang bermusuhan. Apa karena kamu terpilih
menjadi ketua kelas pada pemilihan minggu lalu? Edo kan juga kandidat ketua
kelas juga,” tebak Damar.
“Tapi
kan kita melakukannya secara sportif. Itu pilihan teman-teman satu kelas. Bu
guru Aneke sendiri yang mengawasi,” kata Bagus.
Damar
mengangguk membenarkan. Ketika bel pulang sekolah, Edo buru-buru keluar kelas.
Ia sengaja menghindar untuk pulang bersama Bagus. Karena tergesa-gesa, kaki Edo
tersandung kaki meja. Edo kehilangan keseimbangan, dan ia terjatuh. Kepalanya
terbentur ujung meja.
“Aduh!”
Edo mengerang kesakitan.
Bagus,
Damar, dan Bimo yang melihatnya, segera menolong Edo. Bagus memapah Edo menuju
kursi. Bagus segera mengambil peralatan P3K. Luka di dahi Edo diolesi betadin.
“Aku
akan mengantarmu pulang, Do,” kata Bagus.
“Terima
kasih, Bagus. Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri, kok,” tolak Edo.
“Emm...
sebenarnya, kenapa belakangan ini, kamu selalu menghindariku, Edo? Apa salahku?
Bukankah kita berteman dan bersahabat sejak lama?” tanya Bagus.
Edo
menunduk. Memainkan ujung-ujung kuku jarinya. Ia menghela napas.
“Sebenarnya,
aku tidak bisa menerima kekalahanku waktu pemilihan ketua kelas. Aku iri padamu,
Bagus. Sebagian besar teman-teman lebih memilihmu dibanding aku. Padahal, dari
dulu aku selalu menjadi ketua kelas!” jelas Edo.
“Aku
tidak bermaksud menggesermu yang biasa menjadi ketua kelas, Edo. Aku ikut
menjadi kandidat ketua kelas karena pilihan teman-teman, termasuk kamu, kan Do?”
kata Bagus.
Edo
ingat, waktu itu memang ia yang mengusulkan nama Bagus untuk ikut juga menjadi
kandidat. Saat itu, Edo sangat yakin, ia yang akan terpilih menjadi ketua
kelas, bukan Bagus.
“Bukankah
kita saat itu melakukan pemilihan secara terbuka dan jujur, Do? Ingat, kan, bu
guru Aneke yang mengawasi. Kata bu Aneke, kita harus sportif. Yang tidak
terpilih harus berbesar hati mau menerima kekalahan,” kata Damar menimpali.
“Bu
Aneke juga bilang, dengan bersikap sportif sebetulnya kita sudah menjadi
pemenang. Menang karena mampu menunjukkan kebesaran jiwa dan keikhlasan
menerima kekalahan,” tambah Bimo.
Edo
mengangguk, kemudian menghambur memeluk Bagus.
“Maafkan
saya, Gus. Sekarang aku sadar bahwa sikapku menjauhimu karena kamu terpilih
menjadi ketua kelas, adalah salah. Kamu tetap sahabatku, Bagus,” kata Edo.
“Aku
sudah memaafkanmu, Do,” kata Bagus.
Damar dan Bimo tersenyum melihatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar