Koran Solopos, Minggu 1 Oktober 2017
Persyaratan
kirim:
1.
Sekitar 700-750 kata (kurang lebih 2,5-3 halaman A4
2.
Times New Roman 12pt, spasi 1,5
3.
Email: redaksi.minggu@solopos.co.id
4.
Jangan lupa biodata di bawah naskah (nama, alamat, telepon, no rekening)
5.
Sertakan juga foto atau scan KTP/kartu identitas kamu pada lampiran.
O
iya kirim emailnya file naskah di lampiran, jangan di badan email.
Cernak saya dimuat setelah 1 minggu kirim via email.
Selamat Membaca :)
Cublak-cublak Suweng
Oleh:
Fitri Kurnia Sari
Ningrum
sudah tak sabar menunggu sore hari. Matanya tak bisa terpejam juga. Padahal,
biasanya pada jam satu siang seperti sekarang ini, ia sedang tidur siang. Ia
ingat janji teman barunya di sekolah, Ania, dua hari yang lalu. Ania, murid pindahan dari Surabaya. Ia
berjanji sore ini akan main ke rumah Ningrum dan akan menunjukkan sebuah
permainan yang sangat seru. Permainan apa, ya? Ningrum benar-benar sudah merasa
tidak sabar. Teman-teman Ningrum yang rumahnya dekat juga akan datang ke rumah.
Santi, Tania, Rahma, dan Anggi. Ah, Ningrum benar-benar penasaran.
Pukul
tiga lebih tiga puluh menit. Ningrum sudah selesai mandi. Ia duduk dengan
gelisah di teras rumah.
“Wah,
Ningrum jam segini sudah mandi dan rapi. Apa anak Mama ini mau pergi, ya?”
tanya Mama yang heran melihat Ningrum sudah rapi.
“Emm,
iya Ma. Eh, maksud Ningrum, teman-teman Ningrum akan datang main ke rumah, Ma!”
jawab Ningrum sambil tersenyum.
“Bagus
itu. Jangan lupa kamu ambil toples-toples isi kue di lemari untuk menjamu
teman-temanmu, ya! Mama mau pergi arisan dulu,” Mama mengingatkan.
“Iya,
Ma.”
***
“Assalamu’alaikum.”
Teman-teman
Ningrum sudah datang. Ania, Santi, Tania, Rahma, dan Anggi.
“Wa’alaikumsalam,”
jawab Ningrum riang. Ia lega sekali akhirnya semuanya sudah kumpul.
Ningrum
sudah menyiapkan toples berisi makanan dan juga air minum. Ia meletakkannya di
meja tamu.
“Permainan
seru apa yang akan kamu ajarkan ke kami, Ania?” tanya Santi.
“Permainan
ini seru sekali. Namanya permainan cublak-cublak suweng. Apa kalian pernah
mendengarnya?”
Semua
menggeleng.
“Pertama
kali kita harus mengundi dulu, siapa yang akan menjadi pak Empo. Nah, nanti
yang jadi pak Empo harus telungkup. Yang lain, meletakkan telapak tangannya di
atas punggungnya. Lalu kita menyanyi bersama sambil memutar batu kecil. Ini,
aku bawa batu kecil sebagai suweng.
Setelah lagu selesai, tangan kita menggenggam, dan teman kita yang jadi pak
Empo harus menebak, di mana gerangan suweng
tadi disembunyikan? Kalau tepat, maka yang memegang batu kecil itu, harus
menggantikan menjadi pak Empo. Kalau tebakan pak Empo salah, maka ia harus
telungkup lagi. Kita main lagi, begitu seterusnya!” jelas Ania bersemangat.
Semua
mendengarkan dengan serius.
“Wah,
seru juga, ya! Kalau begitu, mari kita mulai,” teriak Ningrum.
“Tunggu
dulu, Ania kan belum memberi contoh lagunya seperti apa?” Santi mengingatkan.
“O,
iya.”
Semua
tertawa.
“Begini
lagunya teman-teman. Ini aku tulis lagunya di kertas, agar kita bisa
menghapalnya. Mudah, kok!” kata Ania sambil membagikan kertas lagu. Setelah itu
ia memberi contoh iramanya.
Cublak-
cublak suweng, suwenge teng gelenter,
mambu ketundhung gudel, Pak empo lera lere,
sopo nggunyu ndhelikake, sir- sir pong dele kopong,
sir- sir pong dele kopong, sir- sir pong dele kopong.
Artinya, dimana
suweng ( anting-anting )?, suwengnya berserakan.
Banyak
orang mencari seperti anak sapi, Pak Empo tengak-tengok.
Siapa
tertawa, ia yang menyembunyikan, kedele kosong tanpa isi.
Mereka
semua mempraktekkannya. Setelah diundi, ternyata Tania yang pertama kali menjadi
pak Empo. Setelah dua kali jadi pak Empo, Rahma menggantikan menjadi pak Empo.
Ia tertebak memegang batu kecil atau suwengnya. Semua tertawa. Rahma cemberut
ketika harus menjadi pak Empo, namun kemudian ia tertawa karena geli punggunya
ditekan-tekan ketika menyanyi cublak-cublak suweng. Tapi kemudian setelah tiga kali, gantian
Ningrum yang menjadi pak Empo. Begitu seterusnya, sampai mereka puas.
Awalnya,
mereka tidak begitu lancar menyanyikan lagu cublak-cublak suweng, namun setelah
tiga kali bermain, mereka bisa hapal lagu itu. Lagunya sederhana dan mudah
dihapal. Tak terasa waktu sudah semakin
sore. Ningrum mempersilakan teman-temannya untuk makan kue yang sudah ia
siapkan dari tadi.
“Ania,
aku penasaran sebenarnya permainan ini dari daerah mana ya? Dan arti lagunya
itu apa?” tanya Ningrum yang dari tadi bermain sudah penasaran.
“Permainan
ini dari Jawa Timur, Ningrum. Kata kakekku, permainan ini dulu dibuat oleh
salah satu wali songo, namanya Sunan Giri. Kata kakek, suweng itu diibaratkan
seperti barang berharga, sebenarnya adalah kebahagiaan yang semua orang pasti
akan mencarinya. Untuk mendapatkannya, kita harus berusaha dengan selalu
berbuat baik.”
“Wah,
ternyata dalam suatu permainan itu ada sejarah dan maksudnya ya, Ania?” tanya
Santi.
“Iya.
Ania juga baru tahu setelah kakek bercerita asal usul permainan cublak-cublak
suweng ini.”
“Kalau
istirahat di sekolah, kita bisa bermain ini bersama teman-teman yang lain ya?”
usul Anggi.
“Iya,
Anggi. Paling tidak, untuk bisa bermain ini minimal tiga orang. Biasanya bisa
sampai tujuh atau delapan orang,” jelas Ania.
“Eh,
sudah sore. Kita pulang, yuk. Terima kasih ya, Ningrum!”
“Terima
kasih juga, Ania. Kami senang mendapat permainan baru.”
Ningrum
melepas kepulangan teman-temannya. Ia sangat senang mendapat permainan baru,
cublak-cublak suweng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar