Tabloid Nova Edisi 18-24 September 2017
Persyaratan kirim cerpen ke tabloid Nova
1. Tema: Kehidupan wanita dewasa. Nova lebih suka karakter wanita yang tangguh, berjuang, perhatian terhadap sosial dan lingkungan.
2. Jumlah kata, 10.000 cws (sekitar 8 halaman A4)
3. TNR (Times New Roman) ukuran 12
4. Tulis biodata lengkap di bawah naskah ( Nama, alamat, telepon, email, dan no rekening). Bila bukan rekening pribadi, beri keterangan.
5. Jika sudah lengkap semua, kirim ke email: nova@gramedia-majalah.com
6. Tidak ada konfirmasi pemuatan.
Honor akan otomatis dikirim sekitar 2 minggu setelah pemuatan.
Cerpen dibawah ini dimuat sebulan setelah saya kirim :)
Alhamdulillah.
Selamat Membaca :)
Pallubasa
Oleh Fitri
Kurnia Sari
Nareya berjalan dengan sedikit
tergesa-gesa. Seorang perempuan pelayan sebuah coffe shop di bandara Sultan Hasanudin menawari Nareya yang sedang
berjalan menuju pintu keluar untuk singgah
dengan sapaannya yang ramah. Wajah ayu pelayan itu tersenyum semringah sembari
membungkukkan badan.
Nareya mengangguk dan tersenyum
sambil mengangkat telapak tangan
kanannya. Menandakan ia meminta maaf karena tidak ada niat untuk mampir.
Perempuan itu membalas senyuman Nareya. Tas payless putih di bahu kiri, sedang
tangan kanan menenteng sebuah hand bag sedang, membuat Nareya ringan
melangkah. Ia tidak perlu menunggu bagasi di terminal kedatangan.
Perempuan dengan rambut lurus sebahu
itu melihat sekilas angka di jam tangannya. Penerbangan ke kota Angin Mamiri
hari ini benar-benar tepat waktu. Sejak turun dari pesawat, Nareya menghirup dalam aroma kenangan yang baginya
terasa sangat wangi. Aroma yang selama setahun setelah kepulangannya dari
Makassar hanya ia rasakan dalam mimpi. Ia memang sudah tidak sabar untuk sampai
di kota ini. Setiap langkah kakinya bagaikan detakan jam yang akan segera
mengantarkannya ke tempat itu. Terlebih lagi, Ibunya yang selalu mendesaknya
untuk segera menikah.
“Datanglah ke sini, tahun depan saat
purnama di bulan terakhir! Aku akan mentraktirmu pallubasa lagi.” Seorang
lelaki tersenyum sembari melambaikan tangan setelah mengantar Nareya pulang ke sebuah hotel tempatnya menginap di
depan Pantai Losari, pantai yang cukup terkenal di kota ini. Setahun yang lalu Nareya masih ingat betul saat terakhir lelaki itu
memakai kaos kerah Lacoste Dongker dengan jeans biru.
Saat itu pula mata Nareya tak
berkedip menunggu bayangannya hilang.
Perasaannya tiba-tiba terasa sangat senyap. Ia tidak rela jika harus berpisah.
Lelaki itu benar-benar mulai mengisi hatinya selama satu minggu ketika
dirinya melakukan perjalanan dinas di
kota ini. Hilir mudik mobil yang lewat dan hiruk pikuk manusia di anjungan
Pantai Losari sama sekali tak terdengar berisik di telinganya. Ia rela pergi ke
kota ini karena lelaki itu sudah sebulan tidak bisa dihubungi. Nareya
penasaran.
***
Nareya memesan taksi. Seorang bapak
tua dengan logat Makassar yang kental membukakan pintu mobil. Nareya tersenyum.
“Aryaduta, Pantai Losari, Pak!”
Nareya memberi tahu nama sebuah hotel tujuannya.
Bola mata Nareya seolah tak berkedip
menatap wajah Kota Angin Mamiri meter demi meter seiring roda taksi berjalan.
Sepanjang jalan direkamnya baik-baik dalam memorinya. Jalan tol yang panjang
dan berliku, gedung-gedung bertingkat yang
jumlahnya bertambah, hilir mudik kendaraan, dan raut-raut wajah
orang-orang Makassar benar-benar mengobati sedikit demi sedikit rindu yang
disimpannya selama ini. Suhu yang sangat panas sudah menjadi bagian khas kota ini.
“Pak, lewat Jalan Serigala ya.
Mampir sebentar di warung Pallubasa Pak Haji!”
“Baik, Bu. Kita bukan orang sinikah?
Suka pallubasa?” Sopir taxi heran menatap Nareya dari kaca spion.
“Pernah singgah di sini mi, Pak. Ya, dari Jawa, tapi saya suka
sekali pallubasa. Rempah-rempahnya mantap ki!”
jawab Nareya dengan sedikit logat setempat.
Pak Sopir tertawa kecil. Nareya
melanjutkan kembali melihat-lihat wajah
kota ini dari balik jendela mobil. Sudah hampir 30 km perjalanan dari bandara
Hasanuddin.
Nareya memandangi warung Pak Haji. Masih sama
seperti setahun yang lalu. Menjelang makan siang begini, pengunjung harus rela
berdesakan dengan pengunjung lainnya. Sebenarnya Nareya biasa makan pallubasa
dengan lelaki itu malam hari. Namun, ia sudah tidak sabar menunggu malam.
Biarlah nanti malam, Nareya akan singgah lagi tepat di malam purnama! Ia ingin
memanggil kenangan lebih awal dalam semangkuk pallubasa siang itu.
“Silakan,” seorang pramusaji sudah
menyuguhkan semangkuk pallubasa di meja Nareya. Sudah lima belas menit ia
menunggu. Pallubasa memang makanan tradisional Makassar. Terdiri dari daging
dan jeroan sapi atau kerbau dengan kuah beraroma cengkih, serai, pala,
kapulaga, kayu manis. Rasa rempahnya gurih. Taburan kelapa parut goreng membuat
kuahnya makin terasa renyah. Nareya menghirup perlahan dan merasakan asap yang
mengepul dari mangkuk pallubasa. Seiring itu pula semua kenangannya serasa
hadir di tempat itu.
“Enak kan rasanya? Ini pallubasa
yang terkenal di kota ini. Kalau singgah ke kota ini dan tidak makan pallubasa
kamu akan rugi,” Lelaki itu berkata setahun yang lalu dengan berapi-api seakan
ia yang memasak masakan khas Angin Mamiri itu.
Ragu-ragu, Nareya menyesap seujung
sendok. Gurih memang. Pertama, kedua, dan... ia mulai suka. Tapi ia lebih suka
memilih daging dan sedikit jeroan. Lelaki itupun bercerita banyak hal.
***
Nareya menuju resepsionis hotel
untuk chek in. Dipilihnya kamar di
lantai 8 arah selatan yang persis menghadap Pantai Losari. Setelah menaiki
lift, akhirnya sampai juga ia di kamarnya. Dibukanya gorden jendela besar.
Pantai Losari terlihat jelas. Anjungannya terdapat tulisan besar berbunyi City of
Makassar dan Pantai Losari.
Deretan pohon pinang berbaris rapi
sepanjang tepian anjungan. Beberapa tanaman hijau dalam kotak-kotak
bersemen tertata rapi. Memberikan oksigen bagi siapapun yang sedang menikmati
hamparan pantai. Ombak yang tenang dan beberapa kapal kecil adalah sebuah harmoni alami.
Pertama kali ia bertemu dengan
lelaki itu adalah di Pantai Losari. Pada malam yang dingin disertai angin laut
waktu itu membuat Nareya tak lepas dari jaket cokelatnya. Waktu itu, ia sedang
menikmati secangkir sarabba, minuman hangat khas Makassar dengan rasa jahe,
gula merah, merica, pala dan santan. Bagi Nareya sarabba sekilas mirip bajigur,
hanya rasa rempah-rempahnya yang lebih komplit yang membedakan sensasi rasanya.
Sama-sama mereka sedang menikmati malam di Pantai Losari.
“Baru pertama kali ke sini?” Seorang
lelaki menghampiri Nareya malam itu.
“Iya... Kamu?”
Lelaki itu bernama Bram. Senyum
tipisnya selalu menghiasi bibirnya yang berkumis tipis pula. Lampu-lampu di
anjungan pantai persis lilin-lilin besar
yang membantu Nareya melihat lebih jelas wajah Bram yang duduk disampingnya.
Kulitnya yang cukup putih dengan hidung yang mancung, rahang yang keras memberi
kesan ia lelaki yang cukup macho. Bercerita banyak tentang Makassar, Bram bagai
seorang guide bagi Nareya.
Hari-hari berikutnya, rutin setiap
malam sebelum duduk-duduk di anjungan Pantai, Bram selalu mengajak Nareya makan
malam dengan menu pallubasa di sebuah kedai makanan yang terkenal. Nareya heran, ia bisa begitu cepat akrab dengan
lelaki itu.
***
Nareya sangat senang bila ada
seseorang yang memberikan sebuah perhatian lebih. Itulah mengapa dirinya begitu
cepat akrab dengan Bram. Hal sekecil apapun, lelaki itu selalu mengatakannya
pada Nareya.
“Pasti setiap laki-laki yang akan menyatakan
cintanya padamu harus berpikir seribu kali!” tebak Bram sambil memasukkan
irisan jeroan pallubasa ke mulutnya.
Nareya tersedak. Secepat kilat diambilnya air minum
didepannya. Ia mengernyitkan dahi. Menatap Bram meminta penjelasan.
“Kau terlalu mandiri dan...”
“Apa?” Nareya makin penasaran. Tak
disangka Bram akan menebak kepribadiannya.
“Kau harus mendapatkan laki-laki
yang lebih tinggi darimu. Pekerjaannya, cara berpikirnya dan kedewasaannya!”
Nareya terpaku. Ditatapnya Bram tak
berkedip. Baru empat hari bertemu, itupun sesudah ia selesai dengan
pendidikannya di kantor diklat Makassar.
Saat makan malam saja, namun Bram mampu menyelami kepribadiannya. Begitu
besarkah perhatian Bram untuknya? Seumur hidup Nareya, hanya Bram yang begitu
terbuka menebak kepribadiannya.
“Tidak, Bram! Cinta tak perlu
serumit itu,” balas Nareya mantap.
Sepulangnya dari Makassar, hubungan
mereka terus berlanjut walaupun hanya via telepon.
***
Sebentar lagi pukul tujuh. Nareya harus segera ke kedai pallubasa.
Seperti janji Bram, purnama terakhir di bulan terakhir. Nareya menyempurnakan
riasan tipis di wajahnya. Sederhana namun cukup membuat wajahnya kelihatan lebih
cerah.
Sampai di depan warung pallubasa,
jantung Nareya kali ini benar-benar berdegup hebat. Ia menunggu Bram. Seperti
janjinya, lelaki itu akan menunggu
Nareya di bawah pohon sebelah warung.
“Apa kabar? Maaf, Nareya aku terlambat.” Napas Bram tersengal-sengal.
“Baik, Bram!” jawab Nareya tersenyum
lebar.
Bram mengenakan kaos kerah Lacoste
Dongker. Persis ketika saat terakhir berpisah setahun yang lalu. Nareya
tersenyum gembira. Itu artinya Bram ingin Nareya selalu mengingatnya. Mereka
bergandengan tangan. Nareya memesan semangkuk pallubasa. Namun aneh, Bram tidak memesannya malam ini. Masih
kenyang, katanya. Nareya tak mempersoalkannya.
***
“Aku tak habis pikir denganmu, Bram.
Sebenarnya kenapa kau memintaku untuk menemuimu saat purnama bulan terakhir?
Kau dulu pergi berlalu begitu saja dan aku tak sempat bertanya padamu,”
berondong Nareya.
Bram tertawa kecil. Lesung pipitnya
sungguh manis malam ini.
“Bukankah kita berpisah pada saat
purnama? Aku suka purnama karena itu saatnya bulan sempurna menghujani bumi ini
dengan cahayanya. Aku ingin memiliki cinta sesempurna purnama.”
Nareya senang. Ia merasa cinta Bram
memang tertuju padanya. Bram dua tahun lebih tua darinya. Rasanya, Nareya ingin
segera mengabulkan keinginan Ibunya untuk segera menikah.
“Siapa perempuan yang beruntung
mendapatkan purnama cintamu, Bram?” Selidik Nareya.
Bram menatap lekat Nareya. Tersenyum dan dikeluarkannya sebuah cincin
emas putih. Dipakaikannya cincin itu di jari manis Nareya.
“Aku sudah memenuhi janjiku, Nareya.
Aku menemuimu di warung pallubasa ini saat purnama! Kau mau datang berarti ada
cinta darimu untukku,” Bram
menyunggingkan senyum.
Hati Nareya berbunga-bunga. Cintanya
tak bertepuk sebelah tangan. Keduanya tenggelam dalam obrolan panjang dihujani
cahaya purnama.
“Maaf Nareya, aku tak bisa
mengantarmu ke hotel malam ini. Aku harus pulang sekarang!”
Bram melambaikan tangan. Seperti
dulu. Nareya ingin memberondong dengan seribu pertanyaan tentang kelanjutan
hubungan mereka nantinya. Kapan Bram akan melamarnya? Namun Bram sepertinya
sangat tergesa-gesa.
“Mbak, bicara dengan siapa?” Seorang
perempuan yang duduk di meja sebelah Nareya menghampirinya.
Nareya kaget dan menatap perempuan
itu heran. Bicara dengan siapa?
“Ibu lihat laki-laki yang bicara
dengan saya tadi, kan? Dia sudah pulang. Dia...”
Ibu itu menggeleng.
“Mbak tadi makan sendiri di sini.
Saya sempat heran, Mba berbicara sendiri tapi seperti sedang mengobrol dengan ‘seseorang’.”
Nareya kaget. Bicara sendiri?
“Namanya Bram, Bu!”
“Bram? Lelaki tampan berkumis tipis
dan sering mengenakan kaos berkerah itu?” timpal seorang pramusaji yang
kebetulan lewat di depan Nareya.
Nareya mengangguk.
“Dokter muda itu
meninggal satu bulan yang lalu karena tumor otak yang dideritanya. Ia
pelanggan setia pallubasa kami.”
Bulir-bulir air mata Nareya tak
terbendung lagi. Aroma kenangan itu masih terasa sangat wangi.
Datanglah
ke sini saat purnama di bulan terakhir! Aku akan mentraktirmu pallubasa!
***