Sabtu, 21 Oktober 2017

Cerita Anak (Cernak) Koran Solopos-Fitri K

Koran Solopos, Minggu 1 Oktober 2017

Persyaratan kirim:
1. Sekitar 700-750 kata (kurang lebih 2,5-3 halaman A4
2. Times New Roman 12pt, spasi 1,5
3. Email: redaksi.minggu@solopos.co.id
4. Jangan lupa biodata di bawah naskah (nama, alamat, telepon, no rekening)
5. Sertakan juga foto atau scan KTP/kartu identitas kamu pada lampiran.

O iya kirim emailnya file naskah di lampiran, jangan di badan email.

Cernak saya dimuat setelah 1 minggu kirim via email.
Selamat Membaca :)

Cublak-cublak Suweng
Oleh: Fitri Kurnia Sari

Ningrum sudah tak sabar menunggu sore hari. Matanya tak bisa terpejam juga. Padahal, biasanya pada jam satu siang seperti sekarang ini, ia sedang tidur siang. Ia ingat janji teman barunya di sekolah, Ania, dua hari yang lalu.  Ania, murid pindahan dari Surabaya. Ia berjanji sore ini akan main ke rumah Ningrum dan akan menunjukkan sebuah permainan yang sangat seru. Permainan apa, ya? Ningrum benar-benar sudah merasa tidak sabar. Teman-teman Ningrum yang rumahnya dekat juga akan datang ke rumah. Santi, Tania, Rahma, dan Anggi. Ah, Ningrum benar-benar penasaran.
Pukul tiga lebih tiga puluh menit. Ningrum sudah selesai mandi. Ia duduk dengan gelisah di teras rumah.
“Wah, Ningrum jam segini sudah mandi dan rapi. Apa anak Mama ini mau pergi, ya?” tanya Mama yang heran melihat Ningrum sudah rapi.
“Emm, iya Ma. Eh, maksud Ningrum, teman-teman Ningrum akan datang main ke rumah, Ma!” jawab Ningrum sambil tersenyum.
“Bagus itu. Jangan lupa kamu ambil toples-toples isi kue di lemari untuk menjamu teman-temanmu, ya! Mama mau pergi arisan dulu,” Mama mengingatkan.
“Iya, Ma.”
***
“Assalamu’alaikum.”
Teman-teman Ningrum sudah datang. Ania, Santi, Tania, Rahma, dan Anggi.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Ningrum riang. Ia lega sekali akhirnya semuanya sudah kumpul.
Ningrum sudah menyiapkan toples berisi makanan dan juga air minum. Ia meletakkannya di meja tamu.
“Permainan seru apa yang akan kamu ajarkan ke kami, Ania?” tanya Santi.
“Permainan ini seru sekali. Namanya permainan cublak-cublak suweng. Apa kalian pernah mendengarnya?”
Semua menggeleng.
“Pertama kali kita harus mengundi dulu, siapa yang akan menjadi pak Empo. Nah, nanti yang jadi pak Empo harus telungkup. Yang lain, meletakkan telapak tangannya di atas punggungnya. Lalu kita menyanyi bersama sambil memutar batu kecil. Ini, aku bawa batu kecil sebagai suweng. Setelah lagu selesai, tangan kita menggenggam, dan teman kita yang jadi pak Empo harus menebak, di mana gerangan suweng tadi disembunyikan? Kalau tepat, maka yang memegang batu kecil itu, harus menggantikan menjadi pak Empo. Kalau tebakan pak Empo salah, maka ia harus telungkup lagi. Kita main lagi, begitu seterusnya!” jelas Ania bersemangat.
Semua mendengarkan dengan serius.
“Wah, seru juga, ya! Kalau begitu, mari kita mulai,” teriak Ningrum.
“Tunggu dulu, Ania kan belum memberi contoh lagunya seperti apa?” Santi mengingatkan.
“O, iya.”
Semua tertawa.
“Begini lagunya teman-teman. Ini aku tulis lagunya di kertas, agar kita bisa menghapalnya. Mudah, kok!” kata Ania sambil membagikan kertas lagu. Setelah itu ia memberi contoh iramanya.
  Cublak- cublak suweng, suwenge teng gelenter,
    mambu ketundhung gudel, Pak empo lera lere,
    sopo nggunyu ndhelikake, sir- sir pong dele kopong,
    sir- sir pong dele kopong, sir- sir pong dele kopong.
Artinya,    dimana suweng ( anting-anting )?, suwengnya berserakan.
                 Banyak orang mencari seperti anak sapi, Pak Empo tengak-tengok.
                 Siapa tertawa, ia yang menyembunyikan, kedele kosong tanpa isi.
Mereka semua mempraktekkannya. Setelah diundi, ternyata Tania yang pertama kali menjadi pak Empo. Setelah dua kali jadi pak Empo, Rahma menggantikan menjadi pak Empo. Ia tertebak memegang batu kecil atau suwengnya. Semua tertawa. Rahma cemberut ketika harus menjadi pak Empo, namun kemudian ia tertawa karena geli punggunya ditekan-tekan ketika menyanyi cublak-cublak suweng.  Tapi kemudian setelah tiga kali, gantian Ningrum yang menjadi pak Empo. Begitu seterusnya, sampai mereka puas.
Awalnya, mereka tidak begitu lancar menyanyikan lagu cublak-cublak suweng, namun setelah tiga kali bermain, mereka bisa hapal lagu itu. Lagunya sederhana dan mudah dihapal.  Tak terasa waktu sudah semakin sore. Ningrum mempersilakan teman-temannya untuk makan kue yang sudah ia siapkan dari tadi.
“Ania, aku penasaran sebenarnya permainan ini dari daerah mana ya? Dan arti lagunya itu apa?” tanya Ningrum yang dari tadi bermain sudah penasaran.
“Permainan ini dari Jawa Timur, Ningrum. Kata kakekku, permainan ini dulu dibuat oleh salah satu wali songo, namanya Sunan Giri. Kata kakek, suweng itu diibaratkan seperti barang berharga, sebenarnya adalah kebahagiaan yang semua orang pasti akan mencarinya. Untuk mendapatkannya, kita harus berusaha dengan selalu berbuat baik.”
“Wah, ternyata dalam suatu permainan itu ada sejarah dan maksudnya ya, Ania?” tanya Santi.
“Iya. Ania juga baru tahu setelah kakek bercerita asal usul permainan cublak-cublak suweng ini.”
“Kalau istirahat di sekolah, kita bisa bermain ini bersama teman-teman yang lain ya?” usul Anggi.
“Iya, Anggi. Paling tidak, untuk bisa bermain ini minimal tiga orang. Biasanya bisa sampai tujuh atau delapan orang,” jelas Ania.
“Eh, sudah sore. Kita pulang, yuk. Terima kasih ya, Ningrum!”
“Terima kasih juga, Ania. Kami senang mendapat permainan baru.”

Ningrum melepas kepulangan teman-temannya. Ia sangat senang mendapat permainan baru, cublak-cublak suweng.

Cernak Koran Solopos-Fitri K

Koran Solopos, Minggu 3 September 2017


Persyaratan kirim:
1. Sekitar 700-750 kata (kurang lebih 2,5-3 halaman A4
2. Times New Roman 12pt, spasi 1,5
3. Email: redaksi.minggu@solopos.co.id
4. Jangan lupa biodata di bawah naskah (nama, alamat, telepon, no rekening)
5. Sertakan juga foto atau scan KTP/kartu identitas kamu pada lampiran.
O iya kirim emailnya file naskah di lampiran, jangan di badan email.

Cernak saya dimuat setelah 1 minggu saya kirim.
Selamat Membaca :)

TAMAN BACAAN ARIMBI
Oleh: Fitri Kurnia Sari

Arimbi mondar mandir di kamarnya. Telunjuk tangan kanannya ditempelkan di kening. Persis seperti orang yang sedang berpikir. Kemudian ia menuju dua kardus yang ada di pojok kamar. Itu adalah buku-buku cerita yang Arimbi beli selama ini. Ada bermacam-macam majalah anak dan buku cerita.
“Ehm... wah, adik kakak lagi sibuk ya?” tanya kak Sarah.
“Eh, Kakak. Masuk kok ga ketok pintu dulu, sih?”
“Eits, Kakak sudah ketok pintu, Arimbi manis. Tapi, Arimbi ga dengar, kan?” ledek kak Sarah sambil memencet hidung Arimbi.
Arimbi tersipu malu. Arimbi memang hanya mempunyai satu saudara kandung, yaitu kak Sarah. Kakaknya yang sekarang kelas dua SMP itu. Usianya selisih empat tahun dengannya.
“Ehm... Kak Sarah. Arimbi sedang bingung nih. Arimbi ingin menyingkirkan buku-buku bekas  ini. Tapi Arimbi ga tahu mau disingkirkan ke mana? Kalau ke tempat sampah kan sayang,” keluh Arimbi.
“Hah? Jangan dibuang dong Arimbi. Buku-buku ini kan masih bagus. Bagaimana kalau Arimbi membuka taman bacaan saja? Teman-teman kamu dan anak-anak di sekitar rumah kita bisa ikut membaca!” usul kak Sarah.
Mata Arimbi terbelalak. Ia tersenyum gembira.
“Lalu di mana Arimbi bisa membuka taman bacaan, Kak? Bukankah itu semua butuh biaya? Seperti perpustakaan, kan?” tanya Arimbi ragu.
“Arimbi bisa membuka taman bacaan di rumah. Misal di teras, digelarkan tikar. Nah buku nanti bisa diletakkan berjajar di dinding dan ada yang di lantai. Atau nanti bisa pakai rak buku kakak. Biar nanti diletakkan di ruang tamu, biar Arimbi ga usah repot-repot bawa buku keluar masuk. Nah, bacanya di teras saja, dialasi tikar!”
Arimbi tersenyum. Ia setuju dengan ide kak Sarah. Sebenarnya Arimbi juga ingin agar buku-bukunya bisa bermanfaat buat orang lain. Ia jadi teringat dengan Joko dan Tiwi. Mereka adalah teman main Arimbi yang hidup dalam kekurangan. Bapak mereka sudah meninggal, sedangkan ibu mereka bekerja sebagai tukang cuci. Untuk sekolah dan hidup sehari-hari saja hanya pas-pasan. Mereka pasti senang jika bisa ikut membaca di taman bacaan milik Arimbi.
Malam harinya, Arimbi mengutarakan niatnya pada ibu dan bapak untuk membuat taman bacaan. Saat itu Ibu sedang membaca koran di ruang tengah.
“Bu. Bolehkah Arimbi membuat taman bacaan di rumah?”
“O ya? Arimbi ingin membuat taman bacaan? Kenapa?”
“Begini Bu. Buku-buku cerita Arimbi sudah banyak. Arimbi ingin agar teman-teman Arimbi juga bisa membacanya. Daripada buku-buku itu hanya Arimbi simpan dan memenuhi kamar,” jelas Arimbi.
Ibu tersenyum. Dipeluknya Arimbi.
“Wah, itu niat yang bagus. Tentu saja boleh, Arimbi. Tapi Arimbi harus bisa mengatur taman bacaan Arimbi nanti dan jangan lupa tetap belajar ya!”
Arimbi meringis sekaligus girang.
“Taman bacaan Arimbi nanti akan buka setiap sore saja dan hari libur, Bu. Arimbi bisa menunggu sambil belajar dan juga mengerjakan PR.”
“Wah, ide kamu bagus itu!” puji Ibu.
***
Keesokan harinya, di sekolah, Arimbi meminta kepada teman-temannya yang mempunyai buku-buku bekas yang tidak terpakai untuk menyerahkan padanya. Arimbi juga bercerita bahwa ia akan membuat taman bacaan mini di rumah.
“Aku mendukungmu, Arimbi. Aku akan mengumpulkan dulu buku-buku bekasku. Besok hari Minggu, aku akan mengantarkannya ke rumahmu,” kata Tini antusias.
“Aku juga, Arimbi. Aku akan membantumu menata buku,” sahut Eka.
Semua teman-teman Arimbi mendukung niatnya. Arimbi senang sekali.
“Arimbi bisa memakai ruangan bekas warung Ibu di samping rumah. Bagaimana?” tanya Ibu.
“Tentu saja, Bu. Nanti Arimbi akan membersihkan ruangan itu,” Arimbi bersorak gembira.
Dua minggu kemudian, taman bacaan mini milik Arimbi sudah selesai ditata. Bapak menyumbang dua buah rak buku baru. Bapak bangga dengan keinginan Arimbi tersebut. Rak-rak buku diletakkan di sudut ruangan. Dua buah tikar bermotif tokoh kartun Dora Emon dan Masha diletakkan di tengah ruangan.
Teman-teman Arimbi baik dari sekolah ataupun lingkungan rumah juga datang. Mereka ingin membaca buku-buku di taman bacaan Arimbi. Ternyata, banyak juga teman-teman yang ingin membaca namun tidak mempunyai biaya untuk membeli buku. Taman bacaan Arimbi sangat membantu mereka. Teman sekolah Arimbi juga semakin banyak yang menyumbangkan buku.
“Makasih ya Kak Sarah. Ini semua berkat Kakak,” kata Arimbi.
“Arimbi kok yang semangat membuat taman bacaan. Hobi membaca kamu bisa diikuti teman-teman lain. Kak Sarah hanya memberi saran. Arimbi keren!” puji Kak Sarah.
Arimbi tersenyum malu. Ia memang hobi membaca. Wawasan Arimbi juga jadi bertambah. Arimbi ingat kata bu guru Arini, bahwa buku itu adalah jendela dunia. Arimbi merasakannya. Ia paham sekarang, kalau jendela dunia berarti ia bisa mengerti berbagai informasi dari negara manapun lewat membaca. Bahkan, Tomi tetangganya yang hobi main game online, sekarang juga ikut rajin membaca. Ternyata membaca tidak kalah serunya dengan game online. Arimbi senang bisa membantu orang lain untuk membaca buku.


Cerpen Anak koran Solopos

Koran Solopos, Minggu 6 Agustus 2017

Persyaratan kirim:
1. Sekitar 700-750 kata (kurang lebih 2,5-3 halaman A4
2. Times New Roman 12pt, spasi 1,5
3. Email: redaksi.minggu@solopos.co.id
4. Jangan lupa biodata di bawah naskah (nama, alamat, telepon, no rekening)
5. Sertakan juga foto atau scan KTP/kartu identitas kamu pada lampiran.
O iya kirim emailnya file naskah di lampiran, jangan di badan email.

Cernak saya dimuat setelah 1 minggu saya kirim.
Selamat Membaca :)


ULAR NAGA PANJANGNYA
Oleh : Fitri Kurnia Sari

“Vino, Vino !”
Anak-anak kampung itu memanggil - manggil Vino. Vino yang sedang asyik main play station tidak menghiraukan panggilan itu. Ia merasa terganggu dengan teriakan mereka.
“Huh. Ada apa sih mereka memanggil-manggilku,” gerutu Vino.
Sementara Kakek Vino yang dari tadi mengamati dan melihat Vino tidak bergeming, segera menghampiri cucu kesayangannya. Memang untuk satu setengah bulan ini Vino sementara ikut kakek neneknya di kampung karena papa mamanya sedang menunaikan ibadah haji. Anak kelas dua SD itu juga bersekolah sementara di SD dekat rumah kakek.
“Vino, kenapa kamu tidak menjawab panggilan teman-temanmu?” tanya Kakek heran.
“Vino malas Kek, paling mereka mau mengajak Vino main di luar. Vino kan sedang asyik main PS Kek. Lagi seru nih!”
“Kamu kan sudah sering main PS ataupun game komputer di rumah, Vino. Apa kamu ga bosan? Coba dulu main di luar, pasti kamu akan senang, Nak!” bujuk Kakek dengan bijaksana.
Tiba-tiba suara itu lenyap.  Anak-anak kampung itu sudah capek memanggil Vino. Mereka mengira Vino sedang tidur atau shalat karena tak ada jawaban. Tak berapa lama terdengar suara tawa dan jeritan anak-anak itu.  Vino yang sedang asyik dengan PS nya tergugah untuk melihat apa gerangan yang anak-anak kampung itu lakukan. Sepertinya permainan mereka lebih seru, batin Vino. Ia pun mengintip dari jendela.
“Kamu ingin bergabung, Vino?” tanya Kakek.  Vino  nampak ragu.
“Itu permainan yang sering anak-anak sini lakukan. Itu namanya permainan Ular Naga. Berbeda dengan kamu di Jakarta, kebanyakan pada main game online, play station ataupun game di handphone. Nah, kalau disini mereka bermain fisik dengan sarana yang ada di alam. Murah, menyehatkan dan menyenangkan. Apalagi kalau bulan purnama seperti sekarang ini, hampir semua anak akan bermain di luar karena terang”.
Vino melihat anak-anak seperti berbaris dan berjalan menuju dua orang yang saling berpegangan tangan di atas. Mereka kelihatan sangat gembira. Akhirnya Vino keluar dan berjalan menuju teman-teman barunya di kampung Kakek. Ia menghampiri dan bertanya, “Kalian sedang bermain apa?”
“Kami bermain ular naga, Vino. Kamu mau ikut gabung?” jawab Budi.
“Ular naga? Apa kita akan menangkap seekor ular?” tanya Vino.
“Ha ha ...” Semua anak tertawa mendengarnya.
“Tentu saja bukan, Vino!” kata Budi.
“Nama ular naga adalah perumpamaan karena semuanya berbaris, menyerupai seekor ular yang panjang. Nah, begini Vino, kamu kan berbadan besar, jadi kamu jadi induk. Nanti teman-teman yang lain berbaris dibelakangmu sambil memegang pinggang atau ujung baju teman di depannya. Karena kami tinggi, Aku dan Tono akan menjadi gerbang. Kami berdua berpegangan tangan di atas kepala membentuk sebuah gerbang yang nantinya akan dilewati ular naga.”
“Barisan yang kamu pimpin, akan bergerak melingkar kian kemari mengitari gerbang. Nanti kita bergerak sambil menyanyikan lagu. Pada saat tertentu sesuai lagu, ular naga akan berjalan melewati gerbang. Pada saat lagu habis, seorang anak dalam barisan akan tertangkap oleh gerbang. Aku dan Budi akan menurunkan tangan yang menandakan seorang anak tertangkap gerbang kami. Lalu, dua orang yang jadi gerbang akan berbantahan supaya anak ini memilih satu diantara  gerbang untuk jadi pengikutnya dan berbaris di belakang gerbang yang dipilih.”
“Begitu seterusnya sampai barisan ular naga habis tertangkap gerbang. Nah, pengikut gerbang yang terbanyaklah yang menang. Sedangkan yang kalah harus menangkap orang yang paling belakang dari gerbang lawan. Pokoknya seru sekali, Vino.  O ya, lagunya begini,”
Ular naga panjangnya, bukan kepalang
Menjalar-jalar selalu kian kemari
Umpan yang lezat itulah yang dicari
Ini dianya yang terbelakang ...
Akhirnya permainanpun dimulai. Vino ikut tertawa dan teriak. Apalagi ketika lagu hampir habis, jantung mereka terasa akan copot karena takut tertangkap gerbang. Bahkan ketika kedua gerbang berbantah-bantahan untuk mendapatkan anak yang tertangkap, permainan menjadi lebih ramai. Ada lucu dan tegang. Dan, ketika semua barisan ular habis, dan ketahuan mana yang menang, mereka semakin heboh. Lebih seru lagi pihak yang kalah harus menangkap anak yang paling belakang di barisan gerbang yang menang. Sementara gerbang yang menang berusaha mempertahankannya. Jadilah kejar-kejaran disertai pekik panik dan juga tawa.

Setelah permainan selesai, Vino merasa senang sekali karena ia bisa ikut bergabung dalam permainan ular naga ini. Ternyata permainan ini sangat seru dan mengasyikkan. Vino berjanji dalam hati akan mempraktekkannya di Jakarta nanti. Pasti teman-temannya di Jakarta akan menyukai permainan ini.

Dongeng Nusantara Bertutur (NuBi)


Koran Kompas Klasika,  Minggu 24 September 2017


Syarat kirim ke Nusantara Bertutur: 
1. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia
2. Naskah harus asli merupakan karya sendiri dan belum pernah diterbitkan di media cetak apapun sebelumnya
3. Naskah dongeng maksimal 2500 karakter (no space)
font Times New Roman, 12 pt, spasi 1,5
4. Boleh mengirimkan lebih dari satu naskah
5. Melampirkan data diri lengkap penulis (Nama, Alamat, No. Telp/HP, No. Rekening)

Dikirim ke email: nusantarabertutur@gmail.com dengan hashtag #GerakanSumbangDongeng dan tema dongengnya.
Dongeng NuBi saya ini dimuat setelah satu minggu kirim naskah via email.
Selamat Membaca :)



Berbesar Hati Menerima Kekalahan
Oleh: Fitri Kurnia Sari

Edo dan Bagus adalah sahabat karib. Mereka satu kelas di sebuah sekolah dasar di Solo. Rumah mereka juga berdekatan. Namun, sejak seminggu ini, sikap Edo mendadak berubah terhadap Bagus. Sekarang, Edo selalu berangkat sekolah sendiri. Bagus merasa heran dengan perubahan sikap sahabatnya itu. Bahkan, jika Bagus mendekatinya untuk bicara, tiba-tiba Edo segera beranjak pergi.
“Kenapa sekarang Edo tidak mau bicara dan bermain denganku, ya?” tanya Bagus kepada Damar, teman sebangkunya.
“Iya, aku juga melihat kalian seperti sedang bermusuhan. Apa karena kamu terpilih menjadi ketua kelas pada pemilihan minggu lalu? Edo kan juga kandidat ketua kelas juga,” tebak Damar.
“Tapi kan kita melakukannya secara sportif. Itu pilihan teman-teman satu kelas. Bu guru Aneke sendiri yang mengawasi,” kata Bagus.
Damar mengangguk membenarkan. Ketika bel pulang sekolah, Edo buru-buru keluar kelas. Ia sengaja menghindar untuk pulang bersama Bagus. Karena tergesa-gesa, kaki Edo tersandung kaki meja. Edo kehilangan keseimbangan, dan ia terjatuh. Kepalanya terbentur ujung meja.
“Aduh!” Edo mengerang kesakitan.
Bagus, Damar, dan Bimo yang melihatnya, segera menolong Edo. Bagus memapah Edo menuju kursi. Bagus segera mengambil peralatan P3K. Luka di dahi Edo diolesi betadin.
“Aku akan mengantarmu pulang, Do,” kata Bagus.
“Terima kasih, Bagus. Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri, kok,” tolak Edo.
“Emm... sebenarnya, kenapa belakangan ini, kamu selalu menghindariku, Edo? Apa salahku? Bukankah kita berteman dan bersahabat sejak lama?” tanya Bagus.
Edo menunduk. Memainkan ujung-ujung kuku jarinya. Ia menghela napas.
“Sebenarnya, aku tidak bisa menerima kekalahanku waktu pemilihan ketua kelas. Aku iri padamu, Bagus. Sebagian besar teman-teman lebih memilihmu dibanding aku. Padahal, dari dulu aku selalu menjadi ketua kelas!” jelas Edo.
“Aku tidak bermaksud menggesermu yang biasa menjadi ketua kelas, Edo. Aku ikut menjadi kandidat ketua kelas karena pilihan teman-teman, termasuk kamu, kan Do?” kata Bagus.
Edo ingat, waktu itu memang ia yang mengusulkan nama Bagus untuk ikut juga menjadi kandidat. Saat itu, Edo sangat yakin, ia yang akan terpilih menjadi ketua kelas, bukan Bagus.
“Bukankah kita saat itu melakukan pemilihan secara terbuka dan jujur, Do? Ingat, kan, bu guru Aneke yang mengawasi. Kata bu Aneke, kita harus sportif. Yang tidak terpilih harus berbesar hati mau menerima kekalahan,” kata Damar menimpali.
“Bu Aneke juga bilang, dengan bersikap sportif sebetulnya kita sudah menjadi pemenang. Menang karena mampu menunjukkan kebesaran jiwa dan keikhlasan menerima kekalahan,” tambah Bimo.
Edo mengangguk, kemudian menghambur memeluk Bagus.
“Maafkan saya, Gus. Sekarang aku sadar bahwa sikapku menjauhimu karena kamu terpilih menjadi ketua kelas, adalah salah. Kamu tetap sahabatku, Bagus,” kata Edo.
“Aku sudah memaafkanmu, Do,” kata Bagus.
Damar dan Bimo tersenyum melihatnya.


Cerpen Tabloid Nova


Tabloid Nova Edisi 18-24 September 2017

Persyaratan kirim cerpen  ke tabloid Nova
1. Tema: Kehidupan wanita dewasa. Nova lebih suka karakter wanita yang tangguh, berjuang, perhatian terhadap sosial dan lingkungan.
2. Jumlah kata, 10.000 cws (sekitar 8 halaman A4)
3. TNR (Times New Roman) ukuran  12
4. Tulis biodata lengkap di bawah naskah ( Nama, alamat, telepon, email, dan no rekening). Bila bukan rekening pribadi, beri keterangan.
5. Jika sudah lengkap semua, kirim ke email: nova@gramedia-majalah.com
6. Tidak ada konfirmasi pemuatan. 
Honor akan otomatis dikirim sekitar 2 minggu setelah pemuatan. 
Cerpen dibawah ini dimuat sebulan setelah saya kirim :)
Alhamdulillah.
Selamat Membaca :)




 Pallubasa
Oleh Fitri Kurnia Sari

Nareya berjalan dengan sedikit tergesa-gesa. Seorang perempuan pelayan sebuah coffe shop di bandara Sultan Hasanudin menawari Nareya yang sedang berjalan menuju pintu keluar  untuk singgah dengan sapaannya yang ramah. Wajah ayu pelayan itu tersenyum semringah sembari membungkukkan badan.
Nareya mengangguk dan tersenyum sambil mengangkat telapak  tangan kanannya. Menandakan ia meminta maaf karena tidak ada niat untuk mampir. Perempuan itu membalas senyuman Nareya. Tas payless putih di bahu kiri, sedang tangan kanan menenteng  sebuah hand bag sedang, membuat Nareya ringan melangkah. Ia tidak perlu menunggu bagasi di terminal kedatangan.
Perempuan dengan rambut lurus sebahu itu melihat sekilas angka di jam tangannya. Penerbangan ke kota Angin Mamiri hari ini benar-benar tepat waktu. Sejak turun dari pesawat, Nareya  menghirup dalam aroma kenangan yang baginya terasa sangat wangi. Aroma yang selama setahun setelah kepulangannya dari Makassar hanya ia rasakan dalam mimpi. Ia memang sudah tidak sabar untuk sampai di kota ini. Setiap langkah kakinya bagaikan detakan jam yang akan segera mengantarkannya ke tempat itu. Terlebih lagi, Ibunya yang selalu mendesaknya untuk segera menikah.
“Datanglah ke sini, tahun depan saat purnama di bulan terakhir! Aku akan mentraktirmu pallubasa lagi.” Seorang lelaki tersenyum sembari melambaikan tangan setelah mengantar Nareya  pulang ke sebuah hotel tempatnya menginap di depan Pantai Losari, pantai yang cukup terkenal di kota ini.  Setahun yang lalu Nareya  masih ingat betul saat terakhir lelaki itu memakai kaos kerah Lacoste Dongker dengan jeans biru.
Saat itu pula mata Nareya tak berkedip menunggu bayangannya  hilang. Perasaannya tiba-tiba terasa sangat senyap. Ia tidak rela jika harus berpisah. Lelaki itu benar-benar mulai mengisi hatinya selama satu minggu ketika dirinya  melakukan perjalanan dinas di kota ini. Hilir mudik mobil yang lewat dan hiruk pikuk manusia di anjungan Pantai Losari sama sekali tak terdengar berisik di telinganya. Ia rela pergi ke kota ini karena lelaki itu sudah sebulan tidak bisa dihubungi. Nareya penasaran.
***
Nareya memesan taksi. Seorang bapak tua dengan logat Makassar yang kental membukakan pintu mobil. Nareya tersenyum.
“Aryaduta, Pantai Losari, Pak!” Nareya memberi tahu nama sebuah hotel tujuannya.
Bola mata Nareya seolah tak berkedip menatap wajah Kota Angin Mamiri meter demi meter seiring roda taksi berjalan. Sepanjang jalan direkamnya baik-baik dalam memorinya. Jalan tol yang panjang dan berliku, gedung-gedung bertingkat yang  jumlahnya bertambah, hilir mudik kendaraan, dan raut-raut wajah orang-orang Makassar benar-benar mengobati sedikit demi sedikit rindu yang disimpannya selama ini. Suhu yang sangat panas sudah menjadi bagian  khas kota ini.
“Pak, lewat Jalan Serigala ya. Mampir sebentar di warung Pallubasa Pak Haji!”
“Baik, Bu. Kita bukan orang sinikah? Suka pallubasa?” Sopir taxi heran menatap Nareya dari kaca spion.
“Pernah singgah di sini mi, Pak. Ya, dari Jawa, tapi saya suka sekali pallubasa. Rempah-rempahnya mantap ki!” jawab Nareya dengan sedikit logat setempat.
Pak Sopir tertawa kecil. Nareya melanjutkan kembali  melihat-lihat wajah kota ini dari balik jendela mobil. Sudah hampir 30 km perjalanan dari bandara Hasanuddin.
Nareya  memandangi warung Pak Haji. Masih sama seperti setahun yang lalu. Menjelang makan siang begini, pengunjung harus rela berdesakan dengan pengunjung lainnya. Sebenarnya Nareya biasa makan pallubasa dengan lelaki itu malam hari. Namun, ia sudah tidak sabar menunggu malam. Biarlah nanti malam, Nareya akan singgah lagi tepat di malam purnama! Ia ingin memanggil kenangan lebih awal dalam semangkuk pallubasa siang itu.
“Silakan,” seorang pramusaji sudah menyuguhkan semangkuk pallubasa di meja Nareya. Sudah lima belas menit ia menunggu. Pallubasa memang makanan tradisional Makassar. Terdiri dari daging dan jeroan sapi atau kerbau dengan kuah beraroma cengkih, serai, pala, kapulaga, kayu manis. Rasa rempahnya gurih. Taburan kelapa parut goreng membuat kuahnya makin terasa renyah. Nareya menghirup perlahan dan merasakan asap yang mengepul dari mangkuk pallubasa. Seiring itu pula semua kenangannya serasa hadir di tempat itu.
“Enak kan rasanya? Ini pallubasa yang terkenal di kota ini. Kalau singgah ke kota ini dan tidak makan pallubasa kamu akan rugi,” Lelaki itu berkata setahun yang lalu dengan berapi-api seakan ia yang memasak masakan khas Angin Mamiri itu.
Ragu-ragu, Nareya menyesap seujung sendok. Gurih memang. Pertama, kedua, dan... ia mulai suka. Tapi ia lebih suka memilih daging dan sedikit jeroan. Lelaki itupun bercerita banyak hal.
***
Nareya menuju resepsionis hotel untuk chek in. Dipilihnya kamar di lantai 8 arah selatan yang persis menghadap Pantai Losari. Setelah menaiki lift, akhirnya sampai juga ia di kamarnya. Dibukanya gorden jendela besar. Pantai Losari terlihat jelas. Anjungannya terdapat tulisan besar berbunyi  City of  Makassar dan Pantai Losari.  Deretan pohon pinang berbaris rapi  sepanjang tepian anjungan. Beberapa tanaman hijau dalam kotak-kotak bersemen tertata rapi. Memberikan oksigen bagi siapapun yang sedang menikmati hamparan pantai. Ombak yang tenang dan beberapa kapal kecil adalah  sebuah harmoni alami.
Pertama kali ia bertemu dengan lelaki itu adalah di Pantai Losari. Pada malam yang dingin disertai angin laut waktu itu membuat Nareya tak lepas dari jaket cokelatnya. Waktu itu, ia sedang menikmati secangkir sarabba, minuman hangat khas Makassar dengan rasa jahe, gula merah, merica, pala dan santan. Bagi Nareya sarabba sekilas mirip bajigur, hanya rasa rempah-rempahnya yang lebih komplit yang membedakan sensasi rasanya. Sama-sama mereka sedang menikmati malam di Pantai Losari.
“Baru pertama kali ke sini?” Seorang lelaki menghampiri Nareya malam itu.
“Iya...  Kamu?”
Lelaki itu bernama Bram. Senyum tipisnya selalu menghiasi bibirnya yang berkumis tipis pula. Lampu-lampu di anjungan pantai  persis lilin-lilin besar yang membantu Nareya melihat lebih jelas wajah Bram yang duduk disampingnya. Kulitnya yang cukup putih dengan hidung yang mancung, rahang yang keras memberi kesan ia lelaki yang cukup macho. Bercerita banyak tentang Makassar, Bram bagai seorang guide bagi Nareya.
Hari-hari berikutnya, rutin setiap malam sebelum duduk-duduk di anjungan Pantai, Bram selalu mengajak Nareya makan malam dengan menu pallubasa di sebuah kedai makanan yang terkenal. Nareya  heran, ia bisa begitu cepat akrab dengan lelaki itu.
***
Nareya sangat senang bila ada seseorang yang memberikan sebuah perhatian lebih. Itulah mengapa dirinya begitu cepat akrab dengan Bram. Hal sekecil apapun, lelaki itu selalu mengatakannya pada Nareya.
 “Pasti setiap laki-laki yang akan menyatakan cintanya padamu harus berpikir seribu kali!” tebak Bram sambil memasukkan irisan jeroan pallubasa ke mulutnya.
Nareya  tersedak. Secepat kilat diambilnya air minum didepannya. Ia mengernyitkan dahi. Menatap Bram meminta penjelasan.
“Kau terlalu mandiri dan...”
“Apa?” Nareya makin penasaran. Tak disangka Bram akan menebak kepribadiannya.
“Kau harus mendapatkan laki-laki yang lebih tinggi darimu. Pekerjaannya, cara berpikirnya dan kedewasaannya!”
Nareya terpaku. Ditatapnya Bram tak berkedip. Baru empat hari bertemu, itupun sesudah ia selesai dengan pendidikannya di kantor diklat  Makassar. Saat makan malam saja, namun Bram mampu menyelami kepribadiannya. Begitu besarkah perhatian Bram untuknya? Seumur hidup Nareya, hanya Bram yang begitu terbuka menebak kepribadiannya.
“Tidak, Bram! Cinta tak perlu serumit itu,” balas Nareya mantap.
Sepulangnya dari Makassar, hubungan mereka terus berlanjut walaupun hanya via telepon.
***
Sebentar lagi pukul tujuh.  Nareya harus segera ke kedai pallubasa. Seperti janji Bram, purnama terakhir di bulan terakhir. Nareya menyempurnakan riasan tipis di wajahnya. Sederhana namun cukup membuat wajahnya kelihatan lebih cerah.
Sampai di depan warung pallubasa, jantung Nareya kali ini benar-benar berdegup hebat. Ia menunggu Bram. Seperti janjinya, lelaki itu akan  menunggu Nareya di bawah pohon  sebelah warung.
“Apa kabar? Maaf, Nareya aku terlambat.” Napas Bram tersengal-sengal.
“Baik, Bram!” jawab Nareya tersenyum lebar.
Bram mengenakan kaos kerah Lacoste Dongker. Persis ketika saat terakhir berpisah setahun yang lalu. Nareya tersenyum gembira. Itu artinya Bram ingin Nareya selalu mengingatnya. Mereka bergandengan tangan. Nareya memesan semangkuk pallubasa. Namun aneh,  Bram tidak memesannya malam ini. Masih kenyang, katanya. Nareya tak mempersoalkannya.
***
“Aku tak habis pikir denganmu, Bram. Sebenarnya kenapa kau memintaku untuk menemuimu saat purnama bulan terakhir? Kau dulu pergi berlalu begitu saja dan aku tak sempat bertanya padamu,” berondong Nareya.
Bram tertawa kecil. Lesung pipitnya sungguh manis malam ini.
“Bukankah kita berpisah pada saat purnama? Aku suka purnama karena itu saatnya bulan sempurna menghujani bumi ini dengan cahayanya. Aku ingin memiliki cinta sesempurna purnama.”
Nareya senang. Ia merasa cinta Bram memang tertuju padanya. Bram dua tahun lebih tua darinya. Rasanya, Nareya ingin segera mengabulkan keinginan Ibunya untuk segera menikah.
“Siapa perempuan yang beruntung mendapatkan purnama cintamu, Bram?” Selidik Nareya.
Bram menatap lekat Nareya.  Tersenyum dan dikeluarkannya sebuah cincin emas putih. Dipakaikannya cincin itu di jari manis Nareya.
“Aku sudah memenuhi janjiku, Nareya. Aku menemuimu di warung pallubasa ini saat purnama! Kau mau datang berarti ada cinta darimu untukku,”  Bram menyunggingkan senyum.
Hati Nareya berbunga-bunga. Cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Keduanya tenggelam dalam obrolan panjang dihujani cahaya purnama.
“Maaf Nareya, aku tak bisa mengantarmu ke hotel malam ini. Aku harus pulang sekarang!”
Bram melambaikan tangan. Seperti dulu. Nareya ingin memberondong dengan seribu pertanyaan tentang kelanjutan hubungan mereka nantinya. Kapan Bram akan melamarnya? Namun Bram sepertinya sangat tergesa-gesa.
“Mbak, bicara dengan siapa?” Seorang perempuan yang duduk di meja sebelah Nareya menghampirinya.
Nareya kaget dan menatap perempuan itu heran. Bicara dengan siapa?
“Ibu lihat laki-laki yang bicara dengan saya tadi, kan? Dia sudah pulang. Dia...”
Ibu itu menggeleng.
“Mbak tadi makan sendiri di sini. Saya sempat heran, Mba berbicara sendiri tapi seperti sedang  mengobrol dengan ‘seseorang’.”
Nareya kaget. Bicara sendiri?
“Namanya Bram, Bu!”
“Bram? Lelaki tampan berkumis tipis dan sering mengenakan kaos berkerah itu?” timpal seorang pramusaji yang kebetulan lewat di depan Nareya.
Nareya mengangguk.
“Dokter  muda itu  meninggal satu bulan yang lalu karena tumor otak yang dideritanya. Ia pelanggan setia pallubasa kami.”
Bulir-bulir air mata Nareya tak terbendung lagi. Aroma kenangan itu masih terasa sangat wangi.
Datanglah ke sini saat purnama di bulan terakhir! Aku akan mentraktirmu pallubasa!
***