Jawaban Untuk Rien. Majalah KARTINI , No.2411, 15-29 Oktober 2015
JAWABAN UNTUK RIEN
Oleh : Fitri Kurniasari
Rien menatap kosong deburan ombak yang entah sudah
berapa kali
terhempas di bibir pantai berpasir putih itu. Ia
seolah melihat hamparan kisahnya lima
tahun yang lalu di atas laut biru itu. Di sisinya
nampak seorang gadis kecil berkaos
putih asyik membuat istana pasir. Gadis kecil itu
menghiasi istana pasir dengan bunga-
bunga kecil warna warni. Bunga yang dipetiknya
diantara rerumputan kering di
samping sebuah rumah makan.
Rien menghela napas panjang. Diliriknya Amara, gadis kecilnya
berusia tiga tahun itu. Sungguh! Rien ingin menjadi anak kecil lagi yang polos tanpa
beban pikiran seperti
Amara.
Ia teringat Rangga. Perjuangan
Rangga untuk mendapatkan dirinya tidaklah mudah. Papa Rien sangat
selektif memilih calon menantunya. Sepuluh tahapan yang bisa dibilang sulit
harus Rangga lewati. Rien ingat peristiwa malam itu.
"Kalau kamu mau meminang anakku, pertama kali
kau harus membuktikan
bahwa kau menyayangi Rien. Seberapa besar cintamu
padanya?" tanya Papa serius.
Rangga menjawab bak seorang ksatria yang siap menolong
tuan putri dalam
bahaya. Rien mendesah. Ia tidak menyangka, apa
yang dilakukan Papa terhadap
Rangga adalah bentuk proteksi pada masa depan putri kesayangannya. Ia baru
menyadarinya setelah peristiwa besar itu terjadi.
Bulir-bulir air mata mulai terbentuk di
sudut mata Rien.
"Bunda, foto dong Amara di depan Istana Pasir itu!" Amara menggelayut manja di lengan Rien.
Rien tergagap. Segera ia hapus air matanya.
"Baik, Amara. Sekarang senyum ya. Satu, dua, tiga!"
Amara berjingkrak-jingkrak gembira melihat fotonya. Kehadiran Amara sungguh membuat Rien merasa semangat hidupnya muncul kembali.
***
Ketika membeli minuman, tak sengaja Rien menabrak
seorang perempuan
hamil. Ia segera meminta maaf dan mengganti minuman
yang jatuh. Melihat perempuan
itu, Rien teringat pada seorang perempuan hamil yang
ia temui empat tahun yang lalu.
Dua bulan setelah Rangga pergi.
Perempuan itu namanya Rasti, teman kuliahnya. Ketika
itu Rasti meminta
Rien menemaninya ke dukun pijat untuk menggugurkan
kandungannya. Rasti putus asa
karena pacarnya tidak mau bertanggung jawab. Rien yang
ingin sekali punya anak
membujuk Rasti agar ia jangan menggugurkan
kandungannya dan Rien berjanji akan
merawat anak itu. Dan Rien memenuhi janjinya
membesarkan anak Rasti sampai
sekarang. Anak yang mewarnai hari-harinya setelah
Rangga pergi.
“Aku tidak sempurna, Rien. Aku tak bisa
membahagiakanmu!” tegas
Rangga malam itu.
“Tapi aku cinta kamu, Rangga. Aku menerima kamu seutuhnya,
termasuk
kekurangan kamu!” ujar Rien.
“Ini fatal, Rien. Papamu pasti tak akan menerimaku
lagi jika
mengetahuinya. Itu syaratnya padaku!”
“Apakah kamu punya perempuan lain?” suara Rien
bergetar.
"Rangga mendesah. Menatap Rien penuh kesedihan.
“Aku tak sanggup mengatakannya sekarang, Rien.”
Pagi harinya Rangga pergi. Ada amplop yang
ditinggalkannya di bawah
bantal. Namun, Rien tak memedulikannya. Ia menyimpan
amplop itu dan tak pernah
membukanya sampai sekarang. Ia benci Rangga saat itu
karena tidak mau berterus
terang dan membuatnya bingung. "Cinta macam apa itu,"
batin Rien.
Rien berprasangka kalau Rangga terlanjur menghamili
perempuan lain dan
merasa berdosa. Ia ingat Papa sering berpesan
pada Rangga agar Rien menjadi
satu-satunya perempuan di hati Rangga. Rien tak bisa
bertanya pada Papa apa syarat
kesepuluh Rangga bisa menikahinya.
Rien mengembuskan napas panjang, melepaskan kenangannya berbaur dengan deru ombak yang akhirnya pecah menghantam kakinya.
"Amara! Ayo pulang!" Rien memanggil gadis kecil yang sedang asyik melempar kerang-kerang kecil ke laut.
"Sebentar lagi, Bunda."
"Ayolah, kita sudah terlalu lama disini. Besok, kalau Amara ulang tahun, Bunda ajak ke sini lagi," bujuknya.
Amara mengangguk. Ia mengikuti Bundanya menuju parkiran mobil.
Satu setengah jam kemudian, Rien membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan. Dilihatnya Amara tertidur pulas. Wajahnya nampak kelelahan setelah puas bermain di pantai. Kadang Amara senyum-senyum, seperti sedang berkelana ke negeri mimpi. Rien ada janji dengan Ghea dan Oki, teman sekampusnya waktu di Bandung, yang kebetulan mampir di kota tempat Rien tinggal. Mereka janji bertemu hari ini di sebuah rumah makan.
"Amara! Bangun sayang."
Gadis kecil itu mengucek matanya. Ditatapnya wajah Rien.
"Kita makan dulu, yuk!"
Mendengar kata makan, Amara langsung duduk, bersiap keluar mobil. Rien tertawa kecil memahami kalau gadis kecilnya pasti sudah kelaparan. Ia berjalan menggandeng tangan Amara. Pandangan matanya dilayangkan ke seluruh penjuru rumah makan khas Jawa itu, mencari sosok Ghea dan Oki. Mereka bertemu dan saling berpelukan karena sudah lima tahun tidak bertemu.
"Anakmu? Cantik sekali!" puji Ghea dan Oki.
Rien mengangguk. Tak berapa lama mereka asyik bernostalgia tentang masa kuliah.
***
Malam semakin larut. Rien tidak bisa tidur. Dilihatnya Amara sudah pulas disampingnya. Dikecupnya kening gadis kecil itu. Gadis kecil yang setia menemani hari-harinya dalam suka maupun duka.
Mata Rien terpaku pada foto seorang gadis kecil berbaju biru yang berlari di padang rumput sambil menerbangkan sebuah layang-layang berekor panjang. Layang-layang itu bercorak ungu, kuning, pink, dan biru. Itu adalah foto Rien ketika berusia enam tahun.
“Teruslah berlari, Rien sampai kau bisa menerbangkan layang-layang
itu
dan bawalah ke mana pun kamu mau!” teriak Papa sambil
berlari kecil mengikuti Rien. Itu berarti Rien harus punya impian
setinggi mungkin dan harus gigih mengejar impiannya.
Mata Rien berkaca-kaca
mengingat itu semua. Saat itu
adalah satu hari setelah Mama meninggal. Rien menangis
terus dan Papa membawanya
ke padang rumput bermain layang-layang agar Rien diam
dan tidak bersedih lagi.
Hari-harinya bersama Papa sangat indah. Masak bersama,
pergi berenang,
juga ke pasar. Kalau memasak Papa selalu membuka resep
dan Rien yang disuruh
membacakan dan mencicipi hasilnya. Pernah Papa
salah memasukkan tepung kanji
ke adonan tempe, jadilah tempe cireng!
Setiap malam Papa akan mendongeng
sampai Rien kecil tidur. Bila Papa berangkat kerja Rien hanya
berdua dengan Mbok Parsi,
asisten rumah tangga paruh waktu.
Yang juga tidak bisa Rien lupakan adalah Papa menjadi
tempat curhat ketika
ia dulu beranjak remaja. Mulai masalah jerawat, model
rambut, sampai teman sekolah.
Biasanya Papa akan bertanya lewat telepon pada Tante
Fia, adik Papa. Pernah adik Papa itu menyarankannya untuk menikah lagi, tapi Papa
menolak karena ia sudah cukup bahagia
memiliki seorang Rien.
Kebersamaan itulah yang membuat Rien tetap tegar
sampai saat ini ketika
biduk rumah tangganya tidak berjalan mulus. Ia
menyayangkan mengapa Rangga
tidak sekuat Papa dan terlalu cepat berputus asa.
“Andai saja Rangga bermental baja seperti Papa!” Rien mendesah.
***
Mereka bertemu. Rien dan Anggit. Rien menceritakan
semua kisahnya.
“Kamu harus tegar, Rien!” Anggit sangat memahami
kegalauan Rien.
Rien memandangi Anggit, teman lamanya waktu SMU. Ia
mendesah.
“Kamu masih beruntung, Rien. Suamiku malah pergi
dengan wanita lain
ketika aku hamil anak kedua.”
“Sedang kamu masih punya harapan bertemu Rangga
kembali.
Keduanya pun hanyut dalam obrolan panjang.
Rien mengantar Anggit pulang ke rumah tua bangunan
masa Belanda
dengan halaman yang sangat luas. Bangunan itu masih
terlihat kokoh. Dilihatnya
seorang nenek tua yang usianya hampir delapan puluh
tahun duduk di teras. Nenek
Anggit, sang pemilik rumah itu. Anggit begitu ikhlas
menjalani hidupnya. Ia menjadi tulang
punggung keluarga. Ia senang bertemu Anggit.
Pikirannya menjadi lebih terbuka. Dunia
tak selebar daun kelor.
***
Hari ini Rien pergi ke rumah Papanya. Rien sangat
rindu pada sosok yang
menyayanginya dengan tulus itu. Ia menekan bel, agak lama
menunggu.
Terdengar suara langkah kaki. Seorang laki-laki dengan
jenggot putihnya
membuka pintu. Rien langsung memeluknya. Ia
menangis. Lelaki tua itu membiarkan Rien menumpahkan semua perasaannya di dadanya.
“Papa tidak pernah menyalahkanmu, Rien. Papa rindu
kamu. Hei, Amara apa kabar?”
Gadis kecil itu senang sekali. Tak lama ia sudah duduk
di pangkuan
kakeknya.
Rien menceritakan tentang Amara. Namun aneh, Papa
tidak menanyakan
Rangga sedikitpun.
“Papa sudah membersihkan kamar kamu dan Amara.”
“Papa tahu aku akan datang?”
Seperti biasa Papa selalu bisa merasakan jika Rien
akan pulang. "Ikatan
batin," kata Papa.
Rien masuk ke kamar. Semua masih
seperti dulu. Tapi aneh, foto
Rangga tidak ada. Rien merasa Papa sudah mencium
ketidakberesan rumah tangganya.
“Papa bangga padamu, Rien!” Tinggallah di sini. Temani
Papa!”
Rien semakin heran. Kemudian Papa menceritakan bahwa
selama ini dia
hanya diam agar Rien bisa memecahkan masalahnya. Katanya Rien sudah dewasa. Jadi
Papa sudah tahu rumah tangganya bermasalah?
Lega! Rien merasa bebannya melayang. Mereka berdua
tertawa. Rien tidak takut lagi.
***
Hari ini Rien pindah ke rumah Papa. Wanita bertubuh
semampai dan
anggun itu terus bersenandung. Malam pertama di rumah Papa terasa sangat nyaman dan
hangat. Bangunan joglo dengan lampu gantung ukir kuning keemasan di
ruang tamu.
Rien masuk ke kamar Amara. Matanya tertuju pada boneka teddy bear
hadiah ulang tahun yang disusun seperti sebuah keluarga oleh Amara. Boneka beruang
coklat yang terbesar sebagai papa,
beruang biru sebagai mama, dan yang kuning kecil
dipangku beruang coklat adalah
Amara.
Air mata Rien menetes. Rupanya Amara ingin
mempunyai keluarga yang utuh. Difotonya pose ketiga boneka beruang itu.
“Belum tidur, Rien?” tanya Papa yang masih asyik
menonton televisi.
Rien menggeleng dan duduk di samping Papa.
Disandarkannya kepala Rien pada bahu
tua itu. Sungguh nyaman.
"Sejak kapan Papa mengetahui masalah Rien?" tanya Rien
penasaran.
"Sejak kamu sering kesini tapi tidak bersama Rangga. Papa
curiga!
"Amara Rien adopsi dari teman yang hamil di luar nikah,
Pa.
"Semua bayi itu suci, Rien. Amara tetap anakmu dan cucu
Papa meskipun ia
tidak keluar dari rahimmu!
***
Rien memandang amplop putih yang sudah lusuh dan masih
tertutup rapat
dari Rangga. Telah empat tahun ia menyimpannya. Betapa
kagetnya Rien ternyata amplop itu
berisi kertas hasil laboratorium yang menunjukkan
bahwa Rangga tidak subur. Dan
selembar lagi surat berisi permintaan maaf
Rangga karena tidak akan bisa
memberinya keturunan.
Ia pergi karena merasa bersalah
pada Rien dan Papa. Ia tak bisa bicara langsung pada Rien tentang masalahnya. Ditulisnya juga nomor kontak khusus jika Rien ingin
menghubunginya dan mau menerima kekurangannya yang tak bisa memberikan keturunan. Jadi ...
Rien segera menelpon Rangga.
“Rien?” Lama aku menunggumu.
“I love you,” desis Rien.
Malam bertaburan bintang menambah sukacita suasana.
Beban yang selama
ini bersemayam di tubuh Rien telah menguap seiring
bunyi detik jam. Seandainya dulu
Rien membuka amplop itu, pasti ia tidak akan merana
selama empat tahun. Rien
menelan ludah mengingat semuanya.
***
Pagi hari, Rien asyik membereskan buku-buku di rak
ruang tengah. Sudah
lama ia tidak membersihkan rumah Papa. Ia ingin
membuat rumah kenangannya itu
bersih dan lebih indah dengan warna baru. Keahliannya
mendesain rumah memang
patut diacungi jempol. Semangatnya telah membara
kembali.
Ting tong! Ting tong!
“Pasti pizza pesananku sudah datang,” pikir Rien.
Rien bergegas ke ruang tamu sambil membawa sebuah buku
yang tadi
menarik perhatiannya. Novel romantis kesukaannya ketika masih kuliah dulu.
Dibukanya pintu. Mulutnya
ternganga. Buku yang dipegangnya jatuh.
“Ra-Rangga?” Jantung Rien amat bergemuruh. Persis
ketika dulu, pertama
kali ia bertemu Rangga.
Di depan pintu seorang laki-laki sedikit gondrong
memakai kaos abu-abu
berdiri. Matanya memancarkan kerinduan yang dalam.
"Masih seperti dulu," batin Rien.
“Maafkan aku Rien. I miss you! Terima kasih kau bisa
menerima kekuranganku,” suara bariton itu begitu nyata terdengar di telinga Rien. Suara yang selama empat tahun ini hanya bisa didengarnya dalam mimpi.
Rangga membentangkan tangan. Ia tak sanggup menahan rindu yang terpendam. Sudah empat
tahun ia merindukan saat-saat seperti ini. Kerinduannya membuncah. Rien membalas
pelukan itu, erat! Air mata bahagia menggenang di pelupuk mata kedua insan itu. Cinta Rangga
dan Rien masih utuh dan tak akan terkikis hanya karena
masalah keturunan.
***
terharu
BalasHapusmakasih sudah mampir
Hapuspas mbak, bisa buat nemenin nunggu bedug mahrib, nyari yg syahdu
BalasHapusHehe....lagi nyahdu iki pak Agus, makasih
BalasHapushalo.., numpang tanya, Mbak. kalo cerpen dimuat di Kartini ada pemberitahuannya nggak ya?!
BalasHapustrims
Halo juga mb Dian, biasa kl tertarik pihak kartini akan memberitahukan via email mba, tp utk pastinya kpn tidak diberitahu edisi berapa, jadi kita yang rajin ngecek mba :)
BalasHapusHalo juga mb Dian, biasa kl tertarik pihak kartini akan memberitahukan via email mba, tp utk pastinya kpn tidak diberitahu edisi berapa, jadi kita yang rajin ngecek mba :)
BalasHapus