Jumat, 16 Desember 2016

Cerpen Penyumpit yang Arif

Penyumpit yang Arif
Oleh: Fitri Kurniasari

Pak Raje adalah seorang kepala desa yang kaya raya. Tubuhnya gemuk dan berkepala botak. Rumahnya tiga, mobilnya dua, dan sawahnya banyak. Namun sayang Pak Raje terkenal jahat dan licik. Banyak penduduk yang berhutang padanya karena ekonomi yang pas-pasan. Mereka tercekik hutang dengan bunga yang besar. Hal itu pula yang membuat Pak Raje semakin kaya. Penduduk desa tidak ada yang berani menegur Pak Raje.
Pak Badir, ayah Penyumpit mempunyai hutang yang sangat banyak kepada Pak Raje. Ia tak mampu membayarnya karena Pak Raje selalu menggandakannya. Sekarang Pak Badir telah meninggal, maka Penyumpitlah yang harus membayar hutang ayahnya itu.  Pemuda tampan itu harus menjaga sawah milik Pak Raje dari gangguan tikus dan babi hutan, siang dan malam. Dengan cara seperti itulah, Penyumpit membayar hutang.
“Hai, Penyumpit, Kau harus hati-hati menjaga sawahku. Jika sampai sawahku rusak, maka Kamu harus membayar denda, dengan membayar biaya semua kerusakan! Jangan lupa siang ini Kamu menuai padi!” tegas Pak Raje berkacak pinggang tanpa belas kasihan.
Penyumpit mendesah. Ia sangat menyayangkan sikap Pak Raje yang sangat tamak dan tidak punya perasaan itu. Pak Raje tahu, bahwa kemungkinan besar, babi-babi hutan itu pasti masuk ke sawah.
Tujuh hari sudah, Penyumpit melaksanakan tugasnya dengan baik. Babi hutan tak ada yang mendekat karena ada Penyumpit si penjaga. Penyumpit duduk termenung di rumah sawah berukuran 2 x 2 meter itu. Ia terbayang wajah Arumi, putri Pak Raje yang sangat jelita namun baik hati. Arumi suka menolong orang dan rajin mengaji.
***
“Kenapa Arumi beda sekali dengan Pak Raje? Kenapa aku selalu teringat dia?” batin Penyumpit.
Penyumpit tersenyum konyol. Ia memang menyimpan rapa-rapat perasaannya pada Arumi, karena ia yakin Pak Raje tak akan merestui. Lagipula, belum tentu Arumi mau dengan pemuda miskin seperti dirinya, batinnya.
“Mengapa Ayah tega menyuruh Penyumpit menjaga sawah? Bukankah babi hutan di daerah situ sangat ganas?” tanya Arumi suatu malam.
“Hutang ayah pemuda itu sangat banyak, Arumi. Ayah akan rugi jika Penyumpit tidak membayarnya. Bukankah dengan begitu, sawah kita menjadi aman dari gangguan babi hutan? Hei, kenapa Kau tanyakan ini, Arumi? Apakah Kau ada hati padanya?” Pak Raje mulai curiga.
Arumi hanya menggeleng. Ia tidak berani menatap ayahnya. Ia sangat takut jika Ayahnya murka. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia memang menaruh perasaan pada Penyumpit. Walaupun miskin, tapi Penyumpit sangat giat bekerja, pintar, dan suka menolong. Arumi segera masuk ke kamar. Ia tidak ingin ayahnya mengetahui perasaannya.
***
Ini adalah hari ke delapan Penyumpit menunggu sawah Pak Raje. Ketika sedang asyik duduk di dangau, tiba-tiba tampak seekor babi hutan memasuki wilayah persawahan Pak Raje. Dengan cekatan Penyumpit melemparkan tombak yang ia bawa kea rah babi hutan. Dari kejauhan terdengar pekik kesakitan si babi hutan. Ternyata, mata tombak Penyumpit mengenai kaki babi hutan. Penyumpit cepat berlari kea rah babi hutan yang terluka. Namun, babi hutan itu sudah lenyap. Pemuda itu hanya melihat tetesan darah dari kaki babi hutan itu yang berceceran sepanjang jalan.
Penyumpit mengikuti jejak tetesan darah itu hingga ke dalam hutan. Ia ingin mengetahui tempat persembunyian para babi hutan yang selalu merusak sawah penduduk.  Ia melihat babi hutan yang terluka masuk ke dalam sebuah rumah kayu. Alangkah terkejutnya Penyumpit melihat babi hutan itu berubah menjadi seorang perempuan cantic. Ia pun terdiam beberapa saat seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Beberapa detik kemudian, Penyumpit sadar dari rasa terkejutnya.
“Wahai Putri yang cantik, Kaukah babi yang terluka tadi?” Penyumpit penasaran.
“Benar…Akulah yang tadi menjelma menjadi seekor babi. Namaku Putri Malam,” ucap gadis cantik itu sambil merintih kesakitan.
“Maafkan Aku, Putri. Aku telah melukaimu. Mari Aku bantu mengobati luka di kakimu,” ucap Penyumpit menawarkan diri.
Putri Malam mengangguk mengiyakan. Secara hati-hati dan pelan-pelan, Penyumpit membersihkan luka dan menghentikan darah yang mengalir di kaki. Ia menggunakan tumbuhan sekitar yang berkhasiat sebagai obat untuk menyembuhkan luka Putri Malam.
Keesokan harinya, Putri Malam sudah bisa berjalan. Sebagai tanda terima kasih, ia memberikan beberapa bungkusan yang berisi kunyit, daun simpur, buah nyato, dan buah jering kepada Penyumpit.
“Kau boleh membukanya setelah sampai di rumah!” pesan Putri Malam.
Penyumpit kembali ke rumah dan mematuhi pesan Putri. Setibanya di rumah papannya, ia segera membuka bungkusan tadi. Betapa terkejutnya ia, ternyata bungkusan itu berisi emas, berlian, permata, dan intan. Sejak itu, Penyumpit menjadi orang kaya.
Penyumpit pergi ke rumah Pak Raje untuk melunasi hutang ayahnya.
“Darimana Kau dapat uang sebanyak ini Penyumpit? Apakah Kau mencurinya?” Pak Raje tak percaya.
“Maaf, Pak. Saya tidak pernah mencuri dari siapa pun. Ini Saya dapatkan dengan halal. Ini adalah pemberian seseorang yang baik hati,” jawab Penyumpit.
“Seseorang?” Pak Raje makin penasaran.
Akhirnya, Penyumpit menceritakan peristiwa malam itu. Ia mengatakan semuanya pada Pak Raje, sampai ia mendapatkan bungkusan dari Putri Malam yang isinya telah berubah menjadi barang-barang berharga. Rupanya, Pak Raje tertarik untuk mendapatkan harta dari Putri Malam.
Diam-diam Pak Raje meniru apa yang dilakukan Penyumpit. Ia pergi menjaga sawah pada malam hari dan membawa tombak. Tapi karena tidak terbiasa berjaga malam, ia pun mengantuk dan tertidur. Pada saat tertidur, puluhan babi hutan bertubuh besar menyerang Pak Raje. Pak Raje terkejut, lalu lari pulang ke rumah. Beruntung Penyumpit dan beberapa warga  sedang keliling desa  menjaga keamanan. Mereka lalu mengusir babi hutan itu. Pak Raje pun dibawa ke rumah sakit. Tubuhnya penuh dengan luka. Pak Raje sangat menyesal. Serudukan babi membuat dirinya sadar akan kesalahannya selama ini.
Penyumpit berdiri di samping ranjang Pak Raje.
“Kenapa Bapak pergi menjaga sawah seorang diri? Padahal Bapak bisa meminta tolong pegawai Bapak untuk menjaga sawah!” kata Penyumpit. Walaupun Pak Raje sering berbuat tidak adil terhadapnya, namun ia tetap mau menolong kepala desa itu.
“Aku, aku yang tamak, Penyumpit. Aku ingin bisa memperoleh harta berharga dari babi hutan itu. Aku menyesal Penyumpit. Maukah Kau memaafkanku?” kata Pak Raje dengan menahan sakit di sekujur tubuhnya.
“Saya sudah memaafkan Bapak dari dulu.”
Penyumpit mengusap bahu Pak Raje. Ia sama sekali tidak punya dendam terhadap Pak Raje. Ia ikhlas menunggu Pak Raje di rumah sakit.
“Terima kasih Penyumpit. Kamu sudah mau menolong Ayahku,” kata Arumi yang tiba-tiba muncul dari arah pintu.
“Bukankah sesama mahluk Tuhan kita harus saling menolong, Arumi?” Penyumpit tersenyum. Jantung Penyumpit berdetak lebih cepat.
Arumi tersenyum. Ia juga merasakan jantungnya berdegup lebih cepat.
Pak Raje yang melihat itu, tersenyum. Dalam hati ia berniat akan menikahkan Arumi dengan Penyumpit. Pak Raje sadar, Penyumpit adalah seorang pemuda yang tangguh, mandiri, dan baik hati.
Sebulan setelah keluar dari rumah sakit, Pak Raje memanggil Penyumpit ke rumahnya.
“Aku meminta maaf kepadamu, Penyumpit. Selama ini aku telah berbuat jahat terhadapmu dan juga kepada semua penduduk sini. Aku sangat menyesal!” sesal Pak Raje sambil menerawang langit yang cerah.
“Bukankah Pak Raje sudah meminta maaf?” kata Penyumpit mengingatkan.
“Mungkin, seribu kata maaf yang Aku ucapkan tidak sebanding dengan perbuatan jahatku dulu.”
“Kami semua sudah memaafkan Pak Raje!” jawab Penyumpit.
Sejak kejadian di sawah itu, Pak Raje berubah menjadi baik dan bijaksana. Semua penduduk desa sangat gembira dengan perubahan Pak Raje. Ternyata Tuhan telah menegur Pak Raje lewat peristiwa itu.
“Penyumpit!” Pak Raje menghela napas, memandang pemuda tampan nan baik hati didepannya.
“Maukah Kau menikah dengan putriku, Arumi?”
Penyumpit terkejut mendengar perkataan Pak Raje. Ia tidak menyangka akhirnya Pak Raje mau menerimanya sebagai menantu.
“Saya bersedia menikah dengan Arumi, Pak,” jawab Penyumpit dengan suara bergetar karena bahagia.
Arumi yang berdiri dibalik pintu dan mendengarkan percakapan ayahnya tersenyum bahagia.
Satu minggu kemudian, pernikahan Penyumpit dan Arumi dilangsungkan. Acara begitu meriah. Pak Raje juga memanggil anak yatim piatu dalam pesta itu. Sekarang Penyumpit menjadi orang yang kaya dan hidup bahagia dengan istrinya. Pak Raje pun sekarang menjadi orang yang baik hati dan tidak sombong. Ketika usianya semakin lanjut, Pak Raje meminta Penyumpit menjabat menjadi kepala desa menggantikan kedudukannya. Penyumpit menjadi pemimpin yang arif bijaksana


*Sumber : Cerita Penyumpit dan Putri Malam
                  ( Cerita Rakyat Bangka Belitung )

*Telah dimodifikasi tanpa merubah makna cerita



Senin, 13 Juni 2016

Cerpen majalah Kartini


                  Jawaban Untuk Rien. Majalah KARTINI , No.2411, 15-29 Oktober 2015





                                                  JAWABAN UNTUK RIEN 

                                                      Oleh : Fitri Kurniasari 


          Rien menatap kosong deburan ombak yang entah sudah berapa kali
terhempas di bibir pantai berpasir putih itu. Ia seolah melihat hamparan kisahnya lima
tahun yang lalu di atas laut biru itu. Di sisinya nampak seorang gadis kecil berkaos
putih asyik membuat istana pasir. Gadis kecil itu menghiasi istana pasir dengan bunga-
bunga kecil warna warni. Bunga yang dipetiknya diantara rerumputan kering di
samping sebuah rumah makan. 
          Rien menghela napas panjang. Diliriknya Amara, gadis kecilnya berusia tiga tahun itu. Sungguh! Rien ingin menjadi anak kecil lagi yang polos tanpa beban pikiran seperti
Amara.
          Ia teringat Rangga. Perjuangan Rangga untuk mendapatkan dirinya tidaklah mudah. Papa Rien sangat selektif memilih calon menantunya. Sepuluh tahapan yang bisa dibilang sulit harus Rangga lewati. Rien ingat peristiwa malam itu.
          "Kalau kamu mau meminang anakku, pertama kali kau harus membuktikan
bahwa kau menyayangi Rien. Seberapa besar cintamu padanya?" tanya Papa serius.
           Rangga menjawab bak seorang ksatria yang siap menolong tuan putri dalam
bahaya. Rien mendesah. Ia tidak menyangka, apa yang dilakukan Papa terhadap
Rangga adalah bentuk proteksi pada masa depan putri kesayangannya. Ia baru
menyadarinya setelah peristiwa besar itu terjadi. Bulir-bulir air mata mulai terbentuk di
sudut mata Rien. 
          "Bunda, foto dong Amara di depan Istana Pasir itu!" Amara menggelayut manja di lengan Rien.
          Rien tergagap. Segera ia hapus air matanya.
          "Baik, Amara. Sekarang senyum ya. Satu, dua, tiga!"
          Amara berjingkrak-jingkrak gembira melihat fotonya. Kehadiran Amara sungguh membuat Rien merasa semangat hidupnya muncul kembali.
***
          Ketika membeli minuman, tak sengaja Rien menabrak seorang perempuan
hamil. Ia segera meminta maaf dan mengganti minuman yang jatuh. Melihat perempuan
itu, Rien teringat pada seorang perempuan hamil yang ia temui empat tahun yang lalu.
Dua bulan setelah Rangga pergi.
          Perempuan itu namanya Rasti, teman kuliahnya. Ketika itu Rasti meminta
Rien menemaninya ke dukun pijat untuk menggugurkan kandungannya. Rasti putus asa
karena pacarnya tidak mau bertanggung jawab. Rien yang ingin sekali punya anak
membujuk Rasti agar ia jangan menggugurkan kandungannya dan Rien berjanji akan
merawat anak itu. Dan Rien memenuhi janjinya membesarkan anak Rasti sampai
sekarang. Anak yang mewarnai hari-harinya setelah Rangga pergi.
         “Aku tidak sempurna, Rien. Aku tak bisa membahagiakanmu!” tegas
Rangga malam itu.
         “Tapi aku cinta kamu, Rangga. Aku menerima kamu seutuhnya, termasuk
kekurangan kamu!” ujar Rien.
         “Ini fatal, Rien. Papamu pasti tak akan menerimaku lagi jika
mengetahuinya. Itu syaratnya padaku!”
         “Apakah kamu punya perempuan lain?” suara Rien bergetar.
         "Rangga mendesah. Menatap Rien penuh kesedihan.
         “Aku tak sanggup mengatakannya sekarang, Rien.”
         Pagi harinya Rangga pergi. Ada amplop yang ditinggalkannya di bawah
bantal. Namun, Rien tak memedulikannya. Ia menyimpan amplop itu dan tak pernah
membukanya sampai sekarang. Ia benci Rangga saat itu karena tidak mau berterus
terang dan membuatnya bingung. "Cinta macam apa itu," batin Rien.
         Rien berprasangka kalau Rangga terlanjur menghamili perempuan lain dan
merasa berdosa. Ia ingat Papa sering berpesan pada Rangga agar Rien menjadi
satu-satunya perempuan di hati Rangga. Rien tak bisa bertanya pada Papa apa syarat
kesepuluh Rangga bisa menikahinya.
         Rien mengembuskan napas panjang, melepaskan kenangannya berbaur dengan deru ombak yang akhirnya pecah menghantam kakinya. 
         "Amara! Ayo pulang!" Rien memanggil gadis kecil yang sedang asyik melempar kerang-kerang kecil ke laut.
         "Sebentar lagi, Bunda."
         "Ayolah, kita sudah terlalu lama disini. Besok, kalau Amara ulang tahun, Bunda ajak ke sini lagi," bujuknya.
         Amara mengangguk. Ia mengikuti Bundanya menuju parkiran mobil.
         Satu setengah jam kemudian, Rien membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan. Dilihatnya Amara tertidur pulas. Wajahnya nampak kelelahan setelah puas bermain di pantai. Kadang Amara senyum-senyum, seperti sedang berkelana ke negeri mimpi. Rien ada janji dengan Ghea dan Oki, teman sekampusnya waktu di Bandung, yang kebetulan mampir di kota tempat Rien tinggal. Mereka janji bertemu hari ini di sebuah rumah makan.
          "Amara! Bangun sayang."
          Gadis kecil itu mengucek matanya. Ditatapnya wajah Rien.
          "Kita makan dulu, yuk!"
          Mendengar kata makan, Amara langsung duduk, bersiap keluar mobil. Rien tertawa kecil memahami kalau gadis kecilnya pasti sudah kelaparan. Ia berjalan menggandeng tangan Amara. Pandangan matanya dilayangkan ke seluruh penjuru rumah makan khas Jawa itu, mencari sosok Ghea dan Oki. Mereka bertemu dan saling berpelukan karena sudah lima tahun tidak bertemu.
          "Anakmu? Cantik sekali!" puji Ghea dan Oki.
          Rien mengangguk. Tak berapa lama mereka asyik bernostalgia tentang masa kuliah.
***
          Malam semakin larut. Rien tidak bisa tidur. Dilihatnya Amara sudah pulas disampingnya. Dikecupnya kening gadis kecil itu. Gadis kecil yang setia menemani hari-harinya dalam suka maupun duka.
          Mata Rien terpaku pada foto seorang gadis kecil berbaju biru yang berlari di padang rumput sambil menerbangkan sebuah layang-layang berekor panjang. Layang-layang itu bercorak ungu, kuning, pink, dan biru. Itu adalah foto Rien ketika berusia enam tahun.
         “Teruslah berlari, Rien sampai kau bisa menerbangkan layang-layang itu
dan bawalah ke mana pun kamu mau!” teriak Papa sambil berlari kecil mengikuti Rien. Itu berarti Rien harus punya impian setinggi mungkin dan harus gigih mengejar impiannya.       
          Mata Rien berkaca-kaca mengingat itu semua. Saat itu
adalah satu hari setelah Mama meninggal. Rien menangis terus dan Papa membawanya
ke padang rumput bermain layang-layang agar Rien diam dan tidak bersedih lagi.
          Hari-harinya bersama Papa sangat indah. Masak bersama, pergi berenang,
juga ke pasar. Kalau memasak Papa selalu membuka resep dan Rien yang disuruh
membacakan dan mencicipi hasilnya. Pernah Papa salah memasukkan tepung kanji
ke adonan tempe, jadilah tempe cireng! Setiap malam Papa akan mendongeng
sampai Rien kecil tidur. Bila Papa berangkat kerja Rien hanya berdua dengan Mbok Parsi,
asisten rumah tangga paruh waktu.
          Yang juga tidak bisa Rien lupakan adalah Papa menjadi tempat curhat ketika
ia dulu beranjak remaja. Mulai masalah jerawat, model rambut, sampai teman sekolah.
Biasanya Papa akan bertanya lewat telepon pada Tante Fia, adik Papa. Pernah adik Papa itu menyarankannya untuk menikah lagi, tapi Papa menolak karena ia sudah cukup bahagia 
memiliki seorang Rien.
          Kebersamaan itulah yang membuat Rien tetap tegar sampai saat ini ketika
biduk rumah tangganya tidak berjalan mulus. Ia menyayangkan mengapa Rangga
tidak sekuat Papa dan terlalu cepat berputus asa.
         “Andai saja Rangga bermental baja seperti Papa!” Rien mendesah.  
***
          Mereka bertemu. Rien dan Anggit. Rien menceritakan semua kisahnya.
         “Kamu harus tegar, Rien!” Anggit sangat memahami kegalauan Rien.
         Rien memandangi Anggit, teman lamanya waktu SMU. Ia mendesah.
         “Kamu masih beruntung, Rien. Suamiku malah pergi dengan wanita lain
ketika aku hamil anak kedua.”
         “Sedang kamu masih punya harapan bertemu Rangga kembali.
         Keduanya pun  hanyut dalam obrolan panjang.
         Rien mengantar Anggit pulang ke rumah tua bangunan masa Belanda
dengan halaman yang sangat luas. Bangunan itu masih terlihat kokoh. Dilihatnya
seorang nenek tua yang usianya hampir delapan puluh tahun duduk di teras. Nenek
Anggit, sang pemilik rumah itu. Anggit begitu ikhlas menjalani hidupnya. Ia menjadi tulang
punggung keluarga. Ia senang bertemu Anggit. Pikirannya menjadi lebih terbuka. Dunia
tak selebar daun kelor. 
***
         Hari ini Rien pergi ke rumah Papanya. Rien sangat rindu pada sosok yang
menyayanginya dengan tulus itu. Ia menekan bel, agak lama menunggu.
         Terdengar suara langkah kaki. Seorang laki-laki dengan jenggot putihnya
membuka pintu. Rien langsung memeluknya. Ia menangis. Lelaki tua itu membiarkan Rien menumpahkan semua perasaannya di dadanya.
         “Papa tidak pernah menyalahkanmu, Rien. Papa rindu kamu. Hei, Amara apa kabar?”
         Gadis kecil itu senang sekali. Tak lama ia sudah duduk di pangkuan
kakeknya.
         Rien menceritakan tentang Amara. Namun aneh, Papa tidak menanyakan
Rangga sedikitpun.
        “Papa sudah membersihkan kamar kamu dan Amara.”
        “Papa tahu aku akan datang?”
        Seperti biasa Papa selalu bisa merasakan jika Rien akan pulang. "Ikatan
batin," kata Papa.
        Rien masuk ke kamar. Semua masih seperti dulu. Tapi aneh, foto
Rangga tidak ada. Rien merasa Papa sudah mencium ketidakberesan rumah tangganya.
       “Papa bangga padamu, Rien!” Tinggallah di sini. Temani Papa!”
        Rien semakin heran. Kemudian Papa menceritakan bahwa selama ini dia
hanya diam agar Rien bisa memecahkan masalahnya. Katanya Rien sudah dewasa. Jadi Papa sudah tahu rumah tangganya bermasalah?
         Lega! Rien merasa bebannya melayang. Mereka berdua tertawa. Rien tidak takut lagi.
***
         Hari ini Rien pindah ke rumah Papa. Wanita bertubuh semampai dan
anggun itu terus bersenandung. Malam pertama di rumah Papa terasa sangat nyaman dan hangat. Bangunan joglo dengan lampu gantung ukir kuning keemasan di ruang tamu. 
         Rien masuk ke kamar Amara. Matanya tertuju pada boneka teddy bear hadiah ulang tahun yang disusun seperti sebuah keluarga oleh Amara. Boneka beruang coklat yang terbesar sebagai papa,
beruang biru sebagai mama, dan yang kuning kecil dipangku beruang coklat adalah
Amara. 
         Air mata Rien menetes. Rupanya Amara ingin mempunyai keluarga yang utuh. Difotonya pose ketiga boneka beruang itu.
        “Belum tidur, Rien?” tanya Papa yang masih asyik menonton televisi.
        Rien menggeleng dan duduk di samping Papa. Disandarkannya kepala Rien pada bahu
tua itu. Sungguh nyaman.
        "Sejak kapan Papa mengetahui masalah Rien?" tanya Rien penasaran.
        "Sejak kamu sering kesini tapi tidak bersama Rangga. Papa curiga!
        "Amara Rien adopsi dari teman yang hamil di luar nikah, Pa.
        "Semua bayi itu suci, Rien. Amara tetap anakmu dan cucu Papa meskipun ia
tidak keluar dari rahimmu!
***
        Rien memandang amplop putih yang sudah lusuh dan masih tertutup rapat
dari Rangga. Telah empat tahun ia menyimpannya. Betapa kagetnya Rien ternyata amplop itu
berisi kertas hasil laboratorium yang menunjukkan bahwa Rangga tidak subur. Dan
selembar lagi  surat berisi permintaan maaf Rangga karena tidak akan bisa
memberinya keturunan. 
        Ia pergi karena merasa bersalah pada Rien dan Papa. Ia tak bisa bicara langsung pada Rien tentang masalahnya. Ditulisnya juga nomor kontak khusus jika Rien ingin menghubunginya dan mau menerima kekurangannya yang tak bisa memberikan keturunan. Jadi ...
        Rien segera menelpon Rangga.
       “Rien?” Lama aku menunggumu.
       “I love you,” desis Rien.
       Malam bertaburan bintang menambah sukacita suasana. Beban yang selama
ini bersemayam di tubuh Rien telah menguap seiring bunyi detik jam. Seandainya dulu
Rien membuka amplop itu, pasti ia tidak akan merana selama empat tahun. Rien
menelan ludah mengingat semuanya.
***
       Pagi hari, Rien asyik membereskan buku-buku di rak ruang tengah. Sudah
lama ia tidak membersihkan rumah Papa. Ia ingin membuat rumah kenangannya itu
bersih dan lebih indah dengan warna baru. Keahliannya mendesain rumah memang
patut diacungi jempol. Semangatnya telah membara kembali.
       Ting tong! Ting tong!
       “Pasti pizza pesananku sudah datang,” pikir Rien.
        Rien bergegas ke ruang tamu sambil membawa sebuah buku yang tadi
menarik perhatiannya. Novel romantis kesukaannya ketika masih kuliah dulu. 
        Dibukanya pintu. Mulutnya ternganga. Buku yang dipegangnya jatuh.
        “Ra-Rangga?” Jantung Rien amat bergemuruh. Persis ketika dulu, pertama
kali ia bertemu Rangga.
        Di depan pintu seorang laki-laki sedikit gondrong memakai kaos abu-abu
berdiri. Matanya memancarkan kerinduan yang dalam. 
       "Masih seperti dulu," batin Rien.
       “Maafkan aku Rien. I miss you! Terima kasih kau bisa menerima kekuranganku,” suara bariton itu begitu nyata terdengar di telinga Rien. Suara yang selama empat tahun ini hanya bisa didengarnya dalam mimpi. 
       Rangga membentangkan tangan. Ia tak sanggup menahan rindu yang terpendam. Sudah empat tahun ia merindukan saat-saat seperti ini. Kerinduannya membuncah. Rien membalas pelukan itu, erat! Air mata bahagia menggenang di pelupuk mata kedua insan itu. Cinta Rangga
dan Rien masih utuh dan tak akan terkikis hanya karena masalah keturunan.
***